Kelainan
Paru pada Ketinggian
Setiap tahun
jutaan orang berpergian ke daerah ketinggian untuk berekreasi seperti
mendaki, ski, hiking dan lain sebagai- nya. Penurunan tekanan barometer
pada ketinggian menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO) inspirasi;
keadaan ini dapat menjadi masalah bagi beberapa pendaki.
Ketinggian
terdiri atas 3 skala yaitu tinggi (2438 – 2658 meter), sangat tinggi
(3658 – 5487 meter) dan ketinggian ekstrim (>5500 meter) tetapi sulit untuk
mengetahui tingkat ketinggian saat seseorang dapat mengalami kelainan
akibat ketinggian.
Tekanan
atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi 50%
dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari
nilai per- mukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest).
Seiring dengan
penurunan PO, tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi.
Hipoksia juga akan menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya
meng akibatkan hipertensi pulmoner dan high altitude pulmonary oedema (HAPE).
Selain itu ketinggian juga dapat me-
nyebabkan gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain
sickness (CMS).
Insidens HAPE bervariasi antara
0,01% - 15%. Laki-laki dan perempuan dapat menderita HAPE, walaupun laki-laki
muda lebih mempunyai risiko. Orang
Tibet
dan Sherpa mempunyai proteksi
genetik terhadap HAPE walaupun pernah dilaporkan terjadi pada populasi
ini. Pendakian cepat pada ketinggian menyebabkan perubahan fisiologik dan
kelainan paru sehingga diperlukan penanganan yang tepat.
EFEK KETINGGIAN TERHADAP FISIOLOGI PARU
Respons ventilasi merupakan keadaan
fisiologi yang ter- jadi akibat ketinggian. Penilaian tekanan parsial oksigen
alveolar (PaO) yang pertama kali dilakukan oleh Halden dan Priestley (1905),
diikuti Boycott dan Halden (1908) serta Rahn dan Otis (1946) menyebutkan
bahwa bila tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk
meminimalkan penurunan PaO.
Peningkatan ventilasi terjadi bila
tekanan oksi gen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal)
atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen alveolar kira-kira 8
kPa (tabel 1). Peningkatan
ventilasi ini merupakan akibat perangsangan hipoksia dari badan karotid
yang derajatnya berbeda tiap individu.
Ablasi badan karotid
pada kuda poni, domba, anjing dan anak sapi menyebabkan respons ventilasi
terhadap hipoksia menghilang. Hipoksia akut menyebabkan peningkatan ventilasi,
setelah 15 menit terjadi pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%; pengurangan
ini terjadi akibat reaksi sekunder neurotransmiter di sistem saraf pusat
dan penurunan nilai metabolik serebral, walaupun mekanismenya belum
diketahui. Selanjutnya setelah beberapa hari, ventilasi terus meningkat
akibat kompensasi ginjal terhadap alkalosis respiratorik melalui ekskresi bi-
karbonat yang memperbaiki status asam basa sehingga merangsang pernapasan.
Fungsi paru
pada ketinggian Peningkatan aliran darah, volume darah sentral serta
cairan interstisial menyebabkan penurunan kapasitas vital, peningkatan
volume residu dan penurunan keteregangan paru. Kebalikannya terjadi bila
seseorang tinggal lama di ketinggian.
Menurut
Hurtado, Brody dkk. terdapat kapasitas vital yang besar pada penduduk
yang tinggal di ketinggian. Peningkatan kapasitas vital ini tergantung dari
usia seseorang mulai tinggal pada ketinggian. Makin muda seseorang
mulai tinggal di ketinggian, makin besar kapisitas vitalnya. Aliran darah
pulmoner Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah
jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik.
Efek ini akibat
perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan
kemoreseptor arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain itu mungkin
juga merupakan akibat langsung efek hipoksia miokardium yang
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner.
Peningkatan
curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf simpatis
pembuluh darah menyebabkan pening-katan tekanan arteri pulmoner rata-rata yang
selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja
ventrikel kanan
Ventilasi dan
perfusi
Peningkatan
aliran darah pulmoner pada ketinggian menyebabkan rasio ventilasi perfusi
(VA/Q) mendekati 1,0. dengan menggunakan scanning radionuklida menemukan
bahwa penduduk yang tinggal lama di ketinggian 3111 meter mempunyai
distribusi rasio VA/Q lebih merata dibandingkan dengan orang yang tinggal
pada permukaan laut. Gale dkk.
dikutip dari 1
dengan menggunakan teknik eliminasi menemukan bahwa rasio VA/Q menjadi
optimal sampai ketinggian 4550 meter. Kedua studi tersebutmengindikasikan bahwa
respons normal vaskular paru terhadap hipoksia akan memperbaiki
pertukaran gas dalam paru pada saat istirahat melalui optimalisasi rasio
VA/Q.
Difusi
Penurunan
tekanan parsial oksigen menyebabkan penurunan tekanan oksigen kapiler alveolar.
Ekuilibrasi (keseimbangan) oksigen ke darah tergantung pada lamanya sel darah
merah melewati kapiler paru, biasanya dibutuhkan 0,25 detik padapermukaan laut.
Keseimbangan oksigen yang adekuat tidak terjadi pada ketinggian walaupun
lamanya waktu untuk me-lewati kapiler paru menjadi 0,75 detik.
Peningkatan
kapasitas difusi terjadi pada penduduk yang tinggal di ketinggian, seperti
terlihat pada anak-anak di pegunungan Andes. Peningkatan kapasitas difusi
sebagian besar disebabkan peningkatan volume darah kapiler sehingga terjadi
pelebaran kapiler dan peningkatan luas permukaan difusioksigen.
PERUBAHAN HEMATOLOGI
Peningkatan
konsentrasi hemoglobin terjadi 1 – 2 hari per- tama pendakian dan terus
meningkat sampai beberapa minggu disebabkan oleh peningkatan viskositas
darah. Selanjutnya hipoksia akan merangsang produksi eritropoetin dari
aparatus jukstaglomerular ginjal dan hati sehingga produksi hemoglobin
akan meningkat.
Volume sel
darah merah dan volume darah total meningkat bersamaan dengan penurunan volume
plasma. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan kandungan oksigen dan mungkin
pengangkutan oksigen. Nilai hemoglobin diperkirakan kembali normal setelah 3
minggu.
Kurva disosiasi
oksigen hemoglobin dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen,karbondioksida dan
2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG).
Hipoksia karena
pendakian cepat ke ketinggian merangsang produksi 2,3-DPG dalam sel darah merah
sehingga kurva disosiasi hemoglobin akan bergeser ke
kanan.
Pergeseran kurva ini menguntungkan karena menyebabkan pengangkutan oksigen dari
hemoglobin ke jaringan dengan POyang lebih tinggi.
PERNAPASAN PERIODIK SAAT TIDUR DI KETINGGIAN
Pendaki yang
tidur pada ketinggian di atas 3000 m umumnya mengalami pernapasan periodik
Pernapasan periodik ditandai dengan periode hiperpnea kemudian diikuti dengan
apnea selama 3 – 10 detik. Selama periode apnea, orang sering menjadi lelah dan
terbangun karena perasaan seperti tercekik.Pernapasan periodik dapat berkurang
pada aklimatisasi, akan hilang bila turun dari ketinggian.
Pernapasan
periodik bervariasi pada tiap individu, mungkin berhubungan dengan fungsi
kemosensitivitas terhadap keadaan hipoksia.Individu dengan respons tinggi
terhadap
hipoksia
mempunyai ketidakstabilan interaksi antara oksigen dengan karbondioksida di
daerah sentral dan perifer yang mengakibatkan periodisitas saat tidur, walaupun
mekanisme pastinya belum jelas.
AKLIMATISASI
Aklimatisasi
merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan individu setelah beberapa
jam sampai beberapaminggu berada di ketinggian. Kompensasi ginjal untuk alkalosis
respiratorik terjadi mulai hari pertama berada di ketinggian. Mekanisme
kompensasi lainnya yaitu eritropoesis. Sel darah merah baru akan diproduksi
dalam 3 sampai 5 hari sehingga meningkatkan hematokrit dan kapasitas
pengangkutan oksigen.
Kurva respons
pernapasan terhadap karbondioksida akan bergeser ke kiri segera setelah
seseorang berada di ketinggian.Respons pernapasan juga meningkat setelah
beberapa hari di ketinggian akibat perubahan keseimbangan asam basa. Curah
jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik kembali normal setelah
sebulan berada diketinggian. Hal ini terjadi mungkin karena penurunan aktivitas
simpatis atau perubahan dalam reseptor simpatis.
ACUTE MOUNTAIN SICKNESS
Acute Mountain
Sickness (AMS) umum
terjadi pada pendaki yang mendaki dengan cepat di ketinggian lebih dari 3000
meter. Gejala terjadi dalam beberapa jam sampai 2 hari setelah mendaki dan
berkurang pada hari ke tiga. Gejalanya antara lain sakit kepalaterutama pagi
hari, sesak napas, kelelahan, hilangnya nafsu makan, muntah serta insomnia.
Kejadian AMS
tergantung dari ketinggian yang dicapai, ke-cepatan pendakian dan kerentanan
individu. Laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun
perempuan lebih
cenderung terkena AMS.
Penyakit
infeksi pernapasan dapat menjadi faktor risiko. Penduduk yang mempunyai respons
pernapasan tumpul terhadap hipoksia lebih berisiko untuk terkena AMS
dibandingkan pendatang. Begitu pula individu yang mempunyai respons cepat pada
tekanan arteri pulmoner terhadap hipoksia.
Patofisiologi
Proses pasti
terjadinya AMS tidak diketahui. Hipoksiayang menginduksi vasodilatasi serebral
dan efektornya seperti nitrik oksid (NO) dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri
kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular.Acute mountain sickness mungkin
berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu
yang mempunyai rasio cairan serebrospinal kranial lebih besar, akan lebih baik
dalam mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga
lebih jarang menderita AMS.
Faktor lain
yang dianggap mempengaruhi kejadian AMS adalah perubahan pernapasan saat sampai
di ketinggian. Individu dengan PCO tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah
terkena AMS. Latihan lama yang dilakukan pendaki juga dapat menyebabkan retensi
natrium dan air melaluiaktivasi sistem renin-aldosteron yang akan meningkatkan
risiko untuk terkena AMS.
Penatalaksanaan dan Pencegahan
Penatalaksanaan
AMS tergantung dari cepatnya diagnosis. Gejala AMS ringan dapat berkurang
dengan istirahat, pemberian analgetik dan tinggal di ketinggian yang sama
selama
observasi. Pada keadaan berat, penderita harus turun secepat mungkin dan diberi
suplemen oksigen ataumasuk ke ruang hiperbarik. Asetazolamid 125 – 250 mg/12
jam dapat diberikan bila tidak mungkin untuk segera turun.
Untuk
pencegahan, asetazolamid diberikan 125 mg/12 jam mulai sejak 24 jamsebelum
pendakian. Deksametason 4 mg/6 jam diberikan untuk kasus sedang sampai
berat. Deksametason dengan dosis 4 mg/6-12 jam, mulai 6 jam sebelum pendakian
dapat dipakai untuk pencegahan. Ginkgo biloba 80 – 120 mg/12 jam dapat mencegah
terjadinya AMS. Diet tinggi karbohidrat dapat meningkatkan PO alveolar sehingga
dapat mengurangi gejala AMS.
CHRONIC MOUNTAIN SICKNESS
Chronic
mountain sickness (CMS)
terjadi pada individu yang lahir dan tinggal di ketinggian atau pendatang yang
pindah dan tinggal di ketinggian untuk jangka waktu lama.Kelainan ini lebih
sering diderita laki-laki setengah baya di-bandingkan perempuan.
7
Terdapat
perbedaan etnik dan geo-grafik dalam prevalensi CMS. Orang Andes dan Han lebih
sering menderita CMS dibandingkan orang Tibet.Gejala dan tanda CMS sama dengan
penderita polisitemia, yaitu sakit kepala, pusing, lemah, gangguan memori dan
tingkah laku, sianosis serta sulit tidur.
Pada
pemeriksaan penunjang didapat peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin,
penurunan saturasi O dan PaO serta peningkatan PaCO
Patofisiologi
Hipoksemia
merupakan faktor penting dalam perkembangan CMS. Hipoksemia berat selama tidur
dapat menjadi penyebab meningkatnya nilai hematokrit. Hipoventilasi yang
berhubungan dengan tumpulnya kemosensitivitas terhadaphipoksia menyebabkan
hipoksemia sehingga merangsang respons hemopoetik.
Faktor lain
yaitu ketinggian (makin tinggi, makin besar insidens CMS), fungsi paru
(dipengaruhi riwayat merokok, polusi udara dan infeksi), umur (insidens
meningkat dengan umur, mungkin karena fungsi paru dan respons ventilasi
me-nurun sesuai perkembangan usia), gender (perempuan jarang terkena,
mungkin akibat efek perangsangan pernapasan oleh hormon).
Penatalaksanaan
Gejala dan
tanda CMS hilang bila turun ke daerah pada permukaan laut. Memperbaiki
oksigenasi dapat menurunkan polisitemia, memperbaiki hipertensi pulmoner dan
fungsiserebral.
Pemberian
oksigen dosis rendah selama tidur dapat meningkatkan saturasi oksigen.
Plebotomi dapat menurunkan hematokrit, meningkatkan curah jantung dan
pengangkutan
oksigen.
Plebotomi juga dapat memperbaiki gejala neuropsikologi dan pertukaran gas dalam
paru.
Alternatif lain
yaitu pemberian obat yang merangsang pernapasan seperti medroksiprogesteron
asetat. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 20 – 60 mg/hari selama 10minggu,
dapat meningkatkan volume tidal dan ventilasi, menurunkan PCO arteri
serta memperbaiki oksigenasi saat terjaga maupun tidur.Asetazolamid dapat
diberikan walaupun efektivitasnya kurang dibandingkan
medroksiprogesteronasetat.
HIGH ALTITUDE PULMONARY OEDEMA (HAPE)
High
altitude pulmonary oedema (HAPE)
adalah penyebab kematian akibat ketinggian yang tersering. High
altitudepulmonary oedema tanpa penanganan mengakibatkan kematian hampir
50%, dengan penanganan yang lebih baik kematian menjadi kurang dari 3%.
Insidens HAPE
berhubungan dengan kecepatan pendakian, ketinggian yang dicapai, udara dingin
serta kerentanan individu. Individu dengan riwayat HAPE sebelumnya mempunyai
risiko lebih besar untuk terkena kembali.
Faktor genetik
juga berperan sebagai predis-posisi terjadinya HAPE dengan ditemukannya alel
HLA-DR6 dan HLA-DQ4 pada subyek dengan riwayat HAPE dan hipertensi pulmoner.
High altitude
pulmonary oedema sering terjadi pada pendaki berusia muda yang mendaki dengan cepat pada
ketinggian lebih dari 2500 meter (8000 kaki). Penyakit ini biasanya terjadi
pada 2 – 4 hari pertama pendakian dan paling sering malam ke dua serta
mempunyai ciri khas perburukan pada malam hari.
Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan jika terdapat dua atau lebih tanda dan gejala berikut: penurunan performance
(tampilan), kelelah-an dan rasa lemah (tanda awal yang paling sering
terjadi), batuk kering, dispnea saat istirahat, rasa berat di dada (tabel 2).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan ronki di lobus tengah kanan serta basal paru
(tidak terdapat ronki pada 30% kasus), mengi, sianosis sentral, takikardi,
demam dengan suhu lebih dari
38,5°C (relatif
sering), ortopnea, sputum berwarna kemerahan dan berbusa jika keadaan menjadi
berat.
Foto toraks
memperlihatkan gambaran infiltrat halus tidak merata di lobus tengah dan bawah
paru kanan pada kasus ringan dan di kedua paru bila kasus menjadi lebih berat
(gambar 1).
Gambaran jantung normal disertai dengan peningkatan vaskularisasi paru.
Elektrokardiografi
memperlihatkan sinus takikardi, deviasi aksis ke kanan, elevasi segmen ST serta
gelombang P abnormal. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat dengan
PaO 30 – 40 mmHg dan alkalosis respiratorik.
Pemeriksaan bronchoalveolar
lavage (BAL) menunjukkan peningkatan konsentrasi protein berat molekul
tinggi dan persentase makrofag alveolar. Gambar 1. Foto toraks penderita HAPE
Patofisiologi
High altitude
pulmonary oedema berhubungan dengan hipertensi pulmoner dan peningkatan tekanan kapiler
akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner. Mekanisme hipertensi pulmoner dan
peningkatan tekanan kapiler terjadi karena aktivitas berlebihan saraf simpatis,
disfungsi endotel dan hipoksemia berat akibat buruknya respons pernapasan
terhadap hipoksia.
Hultgren,
menerangkan bahwa peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik
pulmoner yang tidak merata menyebabkan kerusakan dinding kapiler paru karena
tekanan yang sangat tinggi. Kerusakan struktur dinding kapiler paru
meliputikerusakan lapisan endotel kapiler, lapisan epitel alveolar dan
kadang-kadang semua lapisan dari dinding kapiler.
Kerusakan
dinding kapiler akibat peninggian tekanan mikrovaskular dianggap sebagai
penyebab ekstravasasi plasma dan sel ke rongga alveolar. Mekanisme lain yang
mungkin berperan yaitu inflamasi. Pemeriksaan BAL dan urin penderita HAPE
memperlihatkan tanda-tanda inflamasi akibat kerusakan endotel.
Penemuan ini
tidak dapat menetapkan bahwa inflamasi merupakan penyebab utama HAPE atau
akumulasi cairan dalam paru, tetapi diperkirakan inflamasi merupakan akibat
kerusakan dinding kapiler. Konsep baru dalam proses patofisiologi HAPE adalah
gangguan bersihan cairan ruang alveolar.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
HAPE tergantung pada beratnya penyakit dan keadaan lingkungan; makin cepat
diagnosis ditegakkan, makin mudah ditangani. Di daerah ketinggian jika oksigen
dan peralatan medik tidak tersedia, penanganan paling baik adalah turun secepat
mungkin. Bila HAPE cepat terdiagnosis, perbaikan segera terlihat pada penurunan
500 sampai 1000 meter dan penderita dapat mendaki kembali 2 atau 3 hari
kemudian.
Oksigen atau
ruang hiperbarik (Gamow, CERTEC, PAC) dapat segera meningkatkan saturasi
oksigen, menurunkan tekanan arteri pulmoner, frekuensi jantung, frekuensi napas
dan gejala
lain. Oksigen diberikan 2 - 4 liter/menit menggunakan kanula atau masker
hidung. Membuat penderita tetap hangat penting karena kedinginan dapat
meningkatkan tekanan arteri pulmoner.
Penggunaan
masker
bertekanan positif dapat meningkatkan oksigenasi pada penderita HAPE walaupun
efikasinya belum dievaluasi.Di daerah ketinggian dengan fasilitas memadai, tirah
baringdengan suplemen oksigen cukup untuk penyakit ringan sampai sedang.
Perbaikan edema menyeluruh terjadi setelah pem-berian suplemen oksigen selama
24 – 72 jam.
Vasodilator
seperti golongan antagonis kalsium (nifedipin) menurunkan tekanan arteri pulmoner
dan tahanan vaskular paru serta memperbaiki oksigenasi. Nifedipin diberikan
dengan dosis awal 10 mg oral, kemudian diikuti dengan 10 mg tiap 4 jam. Setelah
keadaan penderita stabil diganti dengan formula lepas lambat 20 – 30 mg peroral
setiap 8 atau 12 jam.
Penelitian
terbaru oleh Sartori dkk. menemukan bahwa inhalasi menggunakan beta-agonis
mungkin berguna untuk pengobatan dan pencegahan HAPE. Beta-agonis dapat
meningkatkan bersihan cairan dari ruang alveolar dan menurunkan tekanan arteri
pulmoner. Deksametason dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam bila terjadi gangguan
neurologik. Singh dkk. melaporkan hasil yang baik pada penggunaan furosemid,
tetapi efek samping hipovolemi dan hipotensi harus diwaspadai.
Pencegahan
Pendakian cepat
merupakan faktor penting yang mempengaruhi risiko terjadinya HAPE sehingga
diperlukan tahapan dalam mendaki. Hindari mendaki lebih dari 3000 meter (10000
kaki) pada malam hari dan istirahatlah 2 malam sebelum pendakian selanjutnya.
Diet tinggi
karbohidrat dapat meningkatkan oksigenasi. Nifedipin 20 mg/ 8 jam dapat
diberikan pada pendaki dengan riwayat HAPE sebelumnya. Asetazolamid 250
mg peroral dapat diberikan 1 atau 2 hari sebelum pendakian untuk menstimulasi
pernapasan sehingga saturasi oksigen dapat meningkat selama pernapasan
periodik.Hindari merokok, alkool dan obat anti depresan karena dapat mendepresi
pernapasan.
Sumber:
Risa
Febriana, Faisal Yunus, Wiwin Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
hmmm.. sip.. tk tggu postinganE yg lain ok.. semangat2.. ~.~
BalasHapusbelajar swasembada
BalasHapus