Minggu, 18 September 2011

anda perlu tahu.......


Kelainan Paru pada Ketinggian

Setiap tahun jutaan orang berpergian ke daerah ketinggian  untuk berekreasi seperti mendaki, ski, hiking dan lain sebagai- nya. Penurunan tekanan barometer pada ketinggian menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO) inspirasi; keadaan  ini dapat menjadi masalah bagi beberapa pendaki.
Ketinggian  terdiri atas 3 skala yaitu tinggi (2438 – 2658 meter), sangat  tinggi (3658 – 5487 meter) dan ketinggian ekstrim (>5500 meter) tetapi sulit untuk mengetahui tingkat ketinggian saat  seseorang dapat mengalami kelainan akibat ketinggian.
Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear, menjadi 50% dari nilai permukaan laut  pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari nilai per- mukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest).
Seiring dengan penurunan PO, tubuh akan mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Hipoksia juga akan  menyebabkan vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya meng akibatkan hipertensi pulmoner dan high altitude pulmonary oedema (HAPE). Selain itu ketinggian juga dapat me- nyebabkan gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain sickness (CMS).
Insidens HAPE bervariasi antara 0,01% - 15%. Laki-laki  dan perempuan dapat menderita HAPE, walaupun laki-laki  muda lebih mempunyai risiko. Orang
Tibet
dan Sherpa mempunyai proteksi genetik terhadap HAPE walaupun pernah  dilaporkan terjadi pada populasi ini. Pendakian cepat pada ketinggian menyebabkan perubahan  fisiologik dan kelainan paru sehingga diperlukan penanganan  yang tepat.

EFEK KETINGGIAN TERHADAP FISIOLOGI PARU
Respons ventilasi merupakan keadaan fisiologi yang ter- jadi akibat ketinggian. Penilaian tekanan parsial oksigen alveolar (PaO) yang pertama kali dilakukan oleh Halden dan  Priestley (1905), diikuti Boycott dan Halden (1908) serta Rahn  dan Otis (1946) menyebutkan bahwa bila tekanan barometer  menurun, ventilasi meningkat untuk meminimalkan penurunan PaO.
Peningkatan ventilasi terjadi bila tekanan oksi gen inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal)  atau pada ketinggian 3000 meter dan tekanan oksigen alveolar  kira-kira 8 kPa (tabel 1). Peningkatan ventilasi ini merupakan  akibat perangsangan hipoksia dari badan karotid yang derajatnya berbeda tiap individu.
Ablasi badan karotid pada kuda  poni, domba, anjing dan anak sapi menyebabkan respons ventilasi terhadap hipoksia menghilang. Hipoksia akut menyebabkan peningkatan ventilasi, setelah 15 menit terjadi pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%; pengurangan ini terjadi akibat reaksi sekunder neurotransmiter  di sistem saraf pusat dan penurunan nilai metabolik serebral,  walaupun mekanismenya belum diketahui. Selanjutnya setelah  beberapa hari, ventilasi terus meningkat akibat kompensasi ginjal terhadap alkalosis respiratorik melalui ekskresi bi- karbonat yang memperbaiki status asam basa sehingga merangsang pernapasan.
Fungsi paru pada ketinggian Peningkatan aliran darah, volume darah sentral serta cairan  interstisial menyebabkan penurunan kapasitas vital, peningkatan volume residu dan penurunan keteregangan paru. Kebalikannya terjadi bila seseorang tinggal lama di ketinggian.
Menurut Hurtado, Brody dkk. terdapat kapasitas vital  yang besar pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Peningkatan kapasitas vital ini tergantung dari usia seseorang  mulai tinggal pada ketinggian. Makin muda seseorang mulai  tinggal di ketinggian, makin besar kapisitas vitalnya. Aliran darah pulmoner Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan  curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik.
Efek ini akibat perangsangan simpatis sistem kardiovaskular yang menyebabkan perangsangan kemoreseptor  arteri dan peningkatan inflasi paru. Selain itu mungkin juga  merupakan akibat langsung efek hipoksia miokardium yang  menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner.
Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf simpatis pembuluh darah menyebabkan pening-katan tekanan arteri pulmoner rata-rata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan kerja ventrikel kanan
Ventilasi dan perfusi
Peningkatan aliran darah pulmoner pada ketinggian menyebabkan rasio ventilasi perfusi (VA/Q) mendekati 1,0. dengan menggunakan scanning radionuklida menemukan bahwa penduduk yang tinggal lama  di ketinggian 3111 meter mempunyai distribusi rasio VA/Q lebih merata dibandingkan dengan orang yang tinggal pada  permukaan laut. Gale dkk.
dikutip dari 1 dengan menggunakan  teknik eliminasi menemukan bahwa rasio VA/Q menjadi optimal sampai ketinggian 4550 meter. Kedua studi tersebutmengindikasikan bahwa respons normal vaskular paru terhadap  hipoksia akan memperbaiki pertukaran gas dalam paru pada  saat istirahat melalui optimalisasi rasio VA/Q.
Difusi
Penurunan tekanan parsial oksigen menyebabkan penurunan tekanan oksigen kapiler alveolar. Ekuilibrasi (keseimbangan) oksigen ke darah tergantung pada lamanya sel darah merah melewati kapiler paru, biasanya dibutuhkan 0,25 detik padapermukaan laut. Keseimbangan oksigen yang adekuat tidak terjadi pada ketinggian walaupun lamanya waktu untuk me-lewati kapiler paru menjadi 0,75 detik.
Peningkatan kapasitas difusi terjadi pada penduduk yang tinggal di ketinggian, seperti terlihat pada anak-anak di pegunungan Andes. Peningkatan kapasitas difusi sebagian besar disebabkan peningkatan volume darah kapiler sehingga terjadi pelebaran kapiler dan peningkatan luas permukaan difusioksigen.

PERUBAHAN HEMATOLOGI
Peningkatan konsentrasi hemoglobin terjadi 1 – 2 hari per- tama pendakian dan terus meningkat sampai beberapa minggu  disebabkan oleh peningkatan viskositas darah. Selanjutnya  hipoksia akan merangsang produksi eritropoetin dari aparatus  jukstaglomerular ginjal dan hati sehingga produksi hemoglobin akan meningkat.
Volume sel darah merah dan volume darah total meningkat bersamaan dengan penurunan volume plasma. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan kandungan oksigen dan mungkin pengangkutan oksigen. Nilai hemoglobin diperkirakan kembali normal setelah 3 minggu.
Kurva disosiasi oksigen hemoglobin dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen,karbondioksida dan 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG).
Hipoksia karena pendakian cepat ke ketinggian merangsang produksi 2,3-DPG dalam sel darah merah sehingga kurva disosiasi hemoglobin akan bergeser ke
kanan. Pergeseran kurva ini menguntungkan karena menyebabkan pengangkutan oksigen dari hemoglobin ke jaringan dengan POyang lebih tinggi.

PERNAPASAN PERIODIK SAAT TIDUR DI KETINGGIAN
Pendaki yang tidur pada ketinggian di atas 3000 m umumnya mengalami pernapasan periodik Pernapasan periodik ditandai dengan periode hiperpnea kemudian diikuti dengan apnea selama 3 – 10 detik. Selama periode apnea, orang sering menjadi lelah dan terbangun karena perasaan seperti tercekik.Pernapasan periodik dapat berkurang pada aklimatisasi, akan hilang bila turun dari ketinggian.
Pernapasan periodik bervariasi pada tiap individu, mungkin berhubungan dengan fungsi kemosensitivitas terhadap keadaan hipoksia.Individu dengan respons tinggi terhadap
hipoksia mempunyai ketidakstabilan interaksi antara oksigen dengan karbondioksida di daerah sentral dan perifer yang mengakibatkan periodisitas saat tidur, walaupun mekanisme pastinya belum jelas.

AKLIMATISASI
Aklimatisasi merupakan proses membaiknya toleransi dan penampilan individu setelah beberapa jam sampai beberapaminggu berada di ketinggian. Kompensasi ginjal untuk alkalosis respiratorik terjadi mulai hari pertama berada di ketinggian. Mekanisme kompensasi lainnya yaitu eritropoesis. Sel darah merah baru akan diproduksi dalam 3 sampai 5 hari sehingga meningkatkan hematokrit dan kapasitas pengangkutan oksigen.
Kurva respons pernapasan terhadap karbondioksida akan bergeser ke kiri segera setelah seseorang berada di ketinggian.Respons pernapasan juga meningkat setelah beberapa hari di ketinggian akibat perubahan keseimbangan asam basa. Curah jantung, frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik kembali normal setelah sebulan berada diketinggian. Hal ini terjadi mungkin karena penurunan aktivitas simpatis atau perubahan dalam reseptor simpatis.

ACUTE MOUNTAIN SICKNESS
Acute Mountain Sickness (AMS) umum terjadi pada pendaki yang mendaki dengan cepat di ketinggian lebih dari 3000 meter. Gejala terjadi dalam beberapa jam sampai 2 hari setelah mendaki dan berkurang pada hari ke tiga. Gejalanya antara lain sakit kepalaterutama pagi hari, sesak napas, kelelahan, hilangnya nafsu makan, muntah serta insomnia.
Kejadian AMS tergantung dari ketinggian yang dicapai, ke-cepatan pendakian dan kerentanan individu. Laki-laki dan perempuan dapat menderita AMS walaupun
perempuan lebih cenderung terkena AMS.
Penyakit infeksi pernapasan dapat menjadi faktor risiko. Penduduk yang mempunyai respons pernapasan tumpul terhadap hipoksia lebih berisiko untuk terkena AMS dibandingkan pendatang. Begitu pula individu yang mempunyai respons cepat pada tekanan arteri pulmoner terhadap hipoksia.

Patofisiologi
Proses pasti terjadinya AMS tidak diketahui. Hipoksiayang menginduksi vasodilatasi serebral dan efektornya seperti nitrik oksid (NO) dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular.Acute mountain sickness mungkin berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak. Individu yang mempunyai rasio cairan serebrospinal kranial lebih besar, akan lebih baik dalam mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih jarang menderita AMS.
Faktor lain yang dianggap mempengaruhi kejadian AMS adalah perubahan pernapasan saat sampai di ketinggian. Individu dengan PCO tinggi saat sampai di ketinggian lebih mudah terkena AMS. Latihan lama yang dilakukan pendaki juga dapat menyebabkan retensi natrium dan air melaluiaktivasi sistem renin-aldosteron yang akan meningkatkan risiko untuk terkena AMS.

Penatalaksanaan dan Pencegahan
Penatalaksanaan AMS tergantung dari cepatnya diagnosis. Gejala AMS ringan dapat berkurang dengan istirahat, pemberian analgetik dan tinggal di ketinggian yang sama
selama observasi. Pada keadaan berat, penderita harus turun secepat mungkin dan diberi suplemen oksigen ataumasuk ke ruang hiperbarik. Asetazolamid 125 – 250 mg/12 jam dapat diberikan bila tidak mungkin untuk segera turun.
Untuk pencegahan, asetazolamid diberikan 125 mg/12 jam mulai sejak 24 jamsebelum pendakian. Deksametason 4 mg/6 jam diberikan  untuk kasus sedang sampai berat. Deksametason dengan dosis 4 mg/6-12 jam, mulai 6 jam sebelum pendakian dapat dipakai untuk pencegahan. Ginkgo biloba 80 – 120 mg/12 jam dapat mencegah terjadinya AMS. Diet tinggi karbohidrat dapat meningkatkan PO alveolar sehingga dapat mengurangi gejala AMS.

CHRONIC MOUNTAIN SICKNESS
Chronic mountain sickness (CMS) terjadi pada individu yang lahir dan tinggal di ketinggian atau pendatang yang pindah dan tinggal di ketinggian untuk jangka waktu lama.Kelainan ini lebih sering diderita laki-laki setengah baya di-bandingkan perempuan.
7
Terdapat perbedaan etnik dan geo-grafik dalam prevalensi CMS. Orang Andes dan Han lebih sering menderita CMS dibandingkan orang Tibet.Gejala dan tanda CMS sama dengan penderita polisitemia, yaitu sakit kepala, pusing, lemah, gangguan memori dan tingkah laku, sianosis serta sulit tidur.
Pada pemeriksaan penunjang didapat peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin, penurunan saturasi O dan PaO serta peningkatan PaCO

Patofisiologi
Hipoksemia merupakan faktor penting dalam perkembangan CMS. Hipoksemia berat selama tidur dapat menjadi penyebab meningkatnya nilai hematokrit. Hipoventilasi yang berhubungan dengan tumpulnya kemosensitivitas terhadaphipoksia menyebabkan hipoksemia sehingga merangsang respons hemopoetik.
Faktor lain yaitu ketinggian (makin tinggi, makin besar insidens CMS), fungsi paru (dipengaruhi riwayat merokok, polusi udara dan infeksi), umur (insidens meningkat dengan umur, mungkin karena fungsi paru dan respons ventilasi me-nurun sesuai perkembangan usia), gender (perempuan jarang terkena, mungkin akibat efek perangsangan pernapasan oleh hormon).

Penatalaksanaan
Gejala dan tanda CMS hilang bila turun ke daerah pada permukaan laut. Memperbaiki oksigenasi dapat menurunkan polisitemia, memperbaiki hipertensi pulmoner dan fungsiserebral.
Pemberian oksigen dosis rendah selama tidur dapat meningkatkan saturasi oksigen. Plebotomi dapat menurunkan hematokrit, meningkatkan curah jantung dan pengangkutan
oksigen. Plebotomi juga dapat memperbaiki gejala neuropsikologi dan pertukaran gas dalam paru.
Alternatif lain yaitu pemberian obat yang merangsang pernapasan seperti medroksiprogesteron asetat. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 20 – 60 mg/hari selama 10minggu, dapat meningkatkan volume tidal dan ventilasi, menurunkan PCO arteri serta memperbaiki oksigenasi saat terjaga maupun tidur.Asetazolamid dapat diberikan walaupun efektivitasnya kurang dibandingkan medroksiprogesteronasetat.

HIGH ALTITUDE PULMONARY OEDEMA (HAPE)
High altitude pulmonary oedema (HAPE) adalah penyebab kematian akibat ketinggian yang tersering. High altitudepulmonary oedema tanpa penanganan mengakibatkan kematian hampir 50%, dengan penanganan yang lebih baik kematian menjadi kurang dari 3%.
Insidens HAPE berhubungan dengan kecepatan pendakian, ketinggian yang dicapai, udara dingin serta kerentanan individu. Individu dengan riwayat HAPE sebelumnya mempunyai risiko lebih besar untuk terkena kembali.
Faktor genetik juga berperan sebagai predis-posisi terjadinya HAPE dengan ditemukannya alel HLA-DR6 dan HLA-DQ4 pada subyek dengan riwayat HAPE dan hipertensi pulmoner.
High altitude pulmonary oedema sering terjadi pada pendaki berusia muda yang mendaki dengan cepat pada ketinggian lebih dari 2500 meter (8000 kaki). Penyakit ini biasanya terjadi pada 2 – 4 hari pertama pendakian dan paling sering malam ke dua serta mempunyai ciri khas perburukan pada malam hari.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan jika terdapat dua atau lebih tanda dan gejala berikut: penurunan performance (tampilan), kelelah-an dan rasa lemah (tanda awal yang paling sering terjadi), batuk kering, dispnea saat istirahat, rasa berat di dada (tabel 2). Pada pemeriksaan fisis didapatkan ronki di lobus tengah kanan serta basal paru (tidak terdapat ronki pada 30% kasus), mengi, sianosis sentral, takikardi, demam dengan suhu lebih dari
38,5°C (relatif sering), ortopnea, sputum berwarna kemerahan dan berbusa jika keadaan menjadi berat.
Foto toraks memperlihatkan gambaran infiltrat halus tidak merata di lobus tengah dan bawah paru kanan pada kasus ringan dan di kedua paru bila kasus menjadi lebih berat
(gambar 1). Gambaran jantung normal disertai dengan peningkatan vaskularisasi paru.
Elektrokardiografi memperlihatkan sinus takikardi, deviasi aksis ke kanan, elevasi segmen ST serta gelombang P abnormal. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat dengan PaO 30 – 40 mmHg dan alkalosis respiratorik.
Pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) menunjukkan peningkatan konsentrasi protein berat molekul tinggi dan persentase makrofag alveolar. Gambar 1. Foto toraks penderita HAPE

Patofisiologi
High altitude pulmonary oedema berhubungan dengan hipertensi pulmoner dan peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner. Mekanisme hipertensi pulmoner dan peningkatan tekanan kapiler terjadi karena aktivitas berlebihan saraf simpatis, disfungsi endotel dan hipoksemia berat akibat buruknya respons pernapasan terhadap hipoksia.
Hultgren, menerangkan bahwa peningkatan tekanan kapiler akibat vasokonstriksi hipoksik pulmoner yang tidak merata menyebabkan kerusakan dinding kapiler paru karena tekanan yang sangat tinggi. Kerusakan struktur dinding kapiler paru meliputikerusakan lapisan endotel kapiler, lapisan epitel alveolar dan kadang-kadang semua lapisan dari dinding kapiler.
Kerusakan dinding kapiler akibat peninggian tekanan mikrovaskular dianggap sebagai penyebab ekstravasasi plasma dan sel ke rongga alveolar. Mekanisme lain yang mungkin berperan yaitu inflamasi. Pemeriksaan BAL dan urin penderita HAPE memperlihatkan tanda-tanda inflamasi akibat kerusakan endotel.
Penemuan ini tidak dapat menetapkan bahwa inflamasi merupakan penyebab utama HAPE atau akumulasi cairan dalam paru, tetapi diperkirakan inflamasi merupakan akibat kerusakan dinding kapiler. Konsep baru dalam proses patofisiologi HAPE adalah gangguan bersihan cairan ruang alveolar. 

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HAPE tergantung pada beratnya penyakit dan keadaan lingkungan; makin cepat diagnosis ditegakkan, makin mudah ditangani. Di daerah ketinggian jika oksigen dan peralatan medik tidak tersedia, penanganan paling baik adalah turun secepat mungkin. Bila HAPE cepat terdiagnosis, perbaikan segera terlihat pada penurunan 500 sampai 1000 meter dan penderita dapat mendaki kembali 2 atau 3 hari kemudian.
Oksigen atau ruang hiperbarik (Gamow, CERTEC, PAC) dapat segera meningkatkan saturasi oksigen, menurunkan tekanan arteri pulmoner, frekuensi jantung, frekuensi napas
dan gejala lain. Oksigen diberikan 2 - 4 liter/menit menggunakan kanula atau masker hidung. Membuat penderita tetap hangat penting karena kedinginan dapat meningkatkan tekanan arteri pulmoner.

Penggunaan
masker bertekanan positif dapat meningkatkan oksigenasi pada penderita HAPE walaupun efikasinya belum dievaluasi.Di daerah ketinggian dengan fasilitas memadai, tirah baringdengan suplemen oksigen cukup untuk penyakit ringan sampai sedang. Perbaikan edema menyeluruh terjadi setelah pem-berian suplemen oksigen selama 24 – 72 jam.
Vasodilator seperti golongan antagonis kalsium (nifedipin) menurunkan tekanan arteri pulmoner dan tahanan vaskular paru serta memperbaiki oksigenasi. Nifedipin diberikan dengan dosis awal 10 mg oral, kemudian diikuti dengan 10 mg tiap 4 jam. Setelah keadaan penderita stabil diganti dengan formula lepas lambat 20 – 30 mg peroral setiap 8 atau 12 jam.
Penelitian terbaru oleh Sartori dkk. menemukan bahwa inhalasi menggunakan beta-agonis mungkin berguna untuk pengobatan dan pencegahan HAPE. Beta-agonis dapat meningkatkan bersihan cairan dari ruang alveolar dan menurunkan tekanan arteri pulmoner. Deksametason dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam bila terjadi gangguan neurologik. Singh dkk. melaporkan hasil yang baik pada penggunaan furosemid, tetapi efek samping hipovolemi dan hipotensi harus diwaspadai.

Pencegahan
Pendakian cepat merupakan faktor penting yang mempengaruhi risiko terjadinya HAPE sehingga diperlukan tahapan dalam mendaki. Hindari mendaki lebih dari 3000 meter (10000 kaki) pada malam hari dan istirahatlah 2 malam sebelum pendakian selanjutnya.
Diet tinggi karbohidrat dapat meningkatkan oksigenasi. Nifedipin 20 mg/ 8 jam dapat diberikan pada pendaki dengan riwayat HAPE sebelumnya.  Asetazolamid 250 mg peroral dapat diberikan 1 atau 2 hari sebelum pendakian untuk menstimulasi pernapasan sehingga saturasi oksigen dapat meningkat selama pernapasan periodik.Hindari merokok, alkool dan obat anti depresan karena dapat mendepresi pernapasan.


Sumber:
Risa Febriana, Faisal Yunus, Wiwin Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

2 komentar: