Sejak jaman dahulu manusia telah mengetahui bahwa kehilangan darah adalah sebuah
peristiwa yang berpotensi fatal. Selain itu, manusiapun telah percaya bahwa darah mempunyai
khasiat lain seperti membuat awet muda, menambah kekuatan, dll. Oleh sebab itu mandi darah di
jaman Mesir atau minum darah di Jaman Romawi merupakan upaya untuk mendapatkan khasiat
darah tersebut.
Perkembangan selanjutnya, dilakukan upaya untuk memindahkan darah dari donor ke resipien melalui pembuluh darah. Tidak hanya manusia sebagai donor, hewanpun dicoba sebagai donor. Upaya memindahkan darah melalui pembuluh darah menimbulkan banyak korban. Sebuah gejala klinis yang sekarang disebut sebagai hemolisis akut, waktu itu telah diketahui dan digambarkan bahwa resipien menjadi pucat, timbul rasa nyeri di daerah punggung dan perut, serta urin yang menjadi berwarna hitam. Di tahun 1492, dilakukan transfusi kepada Pope Innocent VIII yang sedang sakit berat dengan donor 3 anak muda. Dalam peristiwa itu donor dan resipien menemui ajal. Dengan banyaknya yang tidak selamat, The Edict of Chatelet dikeluarkan pada tahun 1668 oleh Parlemen Perancis. Isinya sebuah pernyataan bahwa transfusi adalah tindakan yang berbahaya dan tidak boleh dilakukan kecuali dengan ijin khusus dari Fakultas Kedokteran di Paris. Sebagai akibat dari peraturan tersebut transfusi tidak pernah lagi dipraktekkan atau paling tidak sangat sedikit tulisan tentang transfusi. Tidak tanggung-tanggung, 150 tahun lamanya transfusi mengalami masa dorman.
Setelah sekian lama, semangat untuk melakukan lagi transfusi timbul dari seorang ahli kebidanan dari kandungan dari Inggris yang bernama James Blundell. Blundell merasa frustasi karena tidak mampu menolong para ibu yang meninggal akibat kehilangan darah saat persalinan. Di awal abad ke-19 Blundell kembali melakukan transfusi dari orang ke orang. Empat dari delapan pasien pertama dapat diselamatkan, tanpa diketahui mengapa hal tersebut terjadi.
Akhirnya,Yang Mahakuasa memberi ijin agar manusia mengetahui ilmu transfusi melalui Karl Landsteiner seorang ilmuwan dari Jerman pada tahun 1900 yang menemukan perbedaan antigenitas sel darah merah antar individu meskipun satu spesies. Landsteiner menemukan dua jenis antigen di permukaan sel darah merah manusia yaitu A dan B. Berdasarkan jenis antigen ini Landsteiner menggolongkan sel darah merah menjadi sel darah merah A dan B. Sel darah merah yang tidak mempunyai antigen A atau B digolongkan sebagai sel darah merah O. Didapatinya pula bahwa mereka yang mempunyai sel darah merah A, di dalam plasmanya terdapat antibodi terhadap antigen B atau anti-B. Sedangkan mereka yang mempunyai sel darah merah B, di dalam plasmanya tedapat anti-A. Mereka yang mempunyai golongan darah O tidak mempunyai anti-A maupun anti-B. Penemuan Landsteiner membuahkan Hadiah Nobel baginya, dan sangat berguna untuk melakukan transfusi yang jauh lebih aman. Sebelum ditransfusikan, sel darah merah donor diperiksa terlebih dahulu golongan darahnya, demikian pula resipien. Metode pemeriksaan yang dilakukan oleh Landsteiner saat ini tetap dilakukan dengan istilah blood grouping dan cross matching. Penelitian Landsteiner diteruskan oleh muridnya (Decastello dan Sturli) yang akhirnya menemukan sel darah merah yang mempunyai antigen A dan antigen B di permukaannya. Sel darah merah ini kemudian digolongkan sebagai sel darah merah AB.
Penemuan Landsteiner belum sepenuhnya memecahkan masalah pada transfusi. Sampai dengan tahun 1914 manusia masih melakukan direct transfusion dari donor ke resipien karena belum tahu bagaimana caranya mencegah terjadinya pembuan darah setelah darah disadap. Pada tahun 1915 Agote dan Lewisohn, secara terpisah, memperkenalkan bahwa sodium sitras dapat berfungsi sebagai antikoagulan. Pada tahun 1916 Rous dan Turner mempublikasikan studi tentang preservasi darah, kemudian studi ini diaplikasikan dalam Perang Dunia I oleh Oswald Robetson sehingga tidak perlu dilakukan direct transfusion.
Selain pencegahan pembekuan darah, biomaterial yang dipakai untuk menyimpan darah juga berpengaruh terhadap hasil dari transfusi. Semula darah disimpan dalam botol gelas, tetapi perkembangan ilmu menunjukkan bahwa gelas bukan biomaterial yang tepat untuk darah. Sejak tahun 1960-an darah disimpan dengan menggunakan plastik.
Tentang pengelolaan transfusi, pada tahun 1937 seorang dokter dari Amerika bernama Bernard Fantus merintis bank darah di Rumah Sakit Cook County Hospital, Chicago. Fantus juga merintis komite transfusi yang bersifat multidisiplin untuk menentukan indikasi transfusi. Prakarsa Fantus segera diikuti oleh rumah sakit lainnya.
Berakhirnya Perang Dunia semula memberikan asumsi bahwa transfusi adalah tindakan kedokteran yang akan menurun aplikasinya. Hal tersebut tidak terjadi, karena ternyata ditemukan berbagai penyakit yang membutuhkan darah sebagai salah satu terapi, dan bersifat live-saving therapy. Transfusi tetap dibutuhkan namun di sisi lain mulai didapati bahwa penyakit ternyata dapat ditularkan melalui transfusi. Selain itu ditemukan berbagai antigen sel darah merah yang sangat berperanan dalam kompatibilitas transfusi sel darah merah, tidak hanya antigen A, B, dan O seperti di jaman Landsteiner. Kesemuanya memberikan wawasan bahwa transfusi ternyata tidaklah mudah. Berbagai tantangan dalam transfusi memicu berkembangnya konsep transfusi rasional dan aman. Bahkan akhirnya penemuan bahwa HIV dapat ditransmisikan melalui transfusi memicu berkembangnya sebuah cabang ilmu kedokteran yang bernama Transfusion Medicine (Kedokteran Transfusi) di Amerika pada tahun 1980. Dengan perkembangan ilmu ini, diharapkan transfusi menjadi lebih rasional, efektif, dan aman. Sebuah sejarah panjang sejak manusia mencoba mendapatkan kebaikan dari darah.
...Read More..
Perkembangan selanjutnya, dilakukan upaya untuk memindahkan darah dari donor ke resipien melalui pembuluh darah. Tidak hanya manusia sebagai donor, hewanpun dicoba sebagai donor. Upaya memindahkan darah melalui pembuluh darah menimbulkan banyak korban. Sebuah gejala klinis yang sekarang disebut sebagai hemolisis akut, waktu itu telah diketahui dan digambarkan bahwa resipien menjadi pucat, timbul rasa nyeri di daerah punggung dan perut, serta urin yang menjadi berwarna hitam. Di tahun 1492, dilakukan transfusi kepada Pope Innocent VIII yang sedang sakit berat dengan donor 3 anak muda. Dalam peristiwa itu donor dan resipien menemui ajal. Dengan banyaknya yang tidak selamat, The Edict of Chatelet dikeluarkan pada tahun 1668 oleh Parlemen Perancis. Isinya sebuah pernyataan bahwa transfusi adalah tindakan yang berbahaya dan tidak boleh dilakukan kecuali dengan ijin khusus dari Fakultas Kedokteran di Paris. Sebagai akibat dari peraturan tersebut transfusi tidak pernah lagi dipraktekkan atau paling tidak sangat sedikit tulisan tentang transfusi. Tidak tanggung-tanggung, 150 tahun lamanya transfusi mengalami masa dorman.
Setelah sekian lama, semangat untuk melakukan lagi transfusi timbul dari seorang ahli kebidanan dari kandungan dari Inggris yang bernama James Blundell. Blundell merasa frustasi karena tidak mampu menolong para ibu yang meninggal akibat kehilangan darah saat persalinan. Di awal abad ke-19 Blundell kembali melakukan transfusi dari orang ke orang. Empat dari delapan pasien pertama dapat diselamatkan, tanpa diketahui mengapa hal tersebut terjadi.
Akhirnya,Yang Mahakuasa memberi ijin agar manusia mengetahui ilmu transfusi melalui Karl Landsteiner seorang ilmuwan dari Jerman pada tahun 1900 yang menemukan perbedaan antigenitas sel darah merah antar individu meskipun satu spesies. Landsteiner menemukan dua jenis antigen di permukaan sel darah merah manusia yaitu A dan B. Berdasarkan jenis antigen ini Landsteiner menggolongkan sel darah merah menjadi sel darah merah A dan B. Sel darah merah yang tidak mempunyai antigen A atau B digolongkan sebagai sel darah merah O. Didapatinya pula bahwa mereka yang mempunyai sel darah merah A, di dalam plasmanya terdapat antibodi terhadap antigen B atau anti-B. Sedangkan mereka yang mempunyai sel darah merah B, di dalam plasmanya tedapat anti-A. Mereka yang mempunyai golongan darah O tidak mempunyai anti-A maupun anti-B. Penemuan Landsteiner membuahkan Hadiah Nobel baginya, dan sangat berguna untuk melakukan transfusi yang jauh lebih aman. Sebelum ditransfusikan, sel darah merah donor diperiksa terlebih dahulu golongan darahnya, demikian pula resipien. Metode pemeriksaan yang dilakukan oleh Landsteiner saat ini tetap dilakukan dengan istilah blood grouping dan cross matching. Penelitian Landsteiner diteruskan oleh muridnya (Decastello dan Sturli) yang akhirnya menemukan sel darah merah yang mempunyai antigen A dan antigen B di permukaannya. Sel darah merah ini kemudian digolongkan sebagai sel darah merah AB.
Penemuan Landsteiner belum sepenuhnya memecahkan masalah pada transfusi. Sampai dengan tahun 1914 manusia masih melakukan direct transfusion dari donor ke resipien karena belum tahu bagaimana caranya mencegah terjadinya pembuan darah setelah darah disadap. Pada tahun 1915 Agote dan Lewisohn, secara terpisah, memperkenalkan bahwa sodium sitras dapat berfungsi sebagai antikoagulan. Pada tahun 1916 Rous dan Turner mempublikasikan studi tentang preservasi darah, kemudian studi ini diaplikasikan dalam Perang Dunia I oleh Oswald Robetson sehingga tidak perlu dilakukan direct transfusion.
Selain pencegahan pembekuan darah, biomaterial yang dipakai untuk menyimpan darah juga berpengaruh terhadap hasil dari transfusi. Semula darah disimpan dalam botol gelas, tetapi perkembangan ilmu menunjukkan bahwa gelas bukan biomaterial yang tepat untuk darah. Sejak tahun 1960-an darah disimpan dengan menggunakan plastik.
Tentang pengelolaan transfusi, pada tahun 1937 seorang dokter dari Amerika bernama Bernard Fantus merintis bank darah di Rumah Sakit Cook County Hospital, Chicago. Fantus juga merintis komite transfusi yang bersifat multidisiplin untuk menentukan indikasi transfusi. Prakarsa Fantus segera diikuti oleh rumah sakit lainnya.
Berakhirnya Perang Dunia semula memberikan asumsi bahwa transfusi adalah tindakan kedokteran yang akan menurun aplikasinya. Hal tersebut tidak terjadi, karena ternyata ditemukan berbagai penyakit yang membutuhkan darah sebagai salah satu terapi, dan bersifat live-saving therapy. Transfusi tetap dibutuhkan namun di sisi lain mulai didapati bahwa penyakit ternyata dapat ditularkan melalui transfusi. Selain itu ditemukan berbagai antigen sel darah merah yang sangat berperanan dalam kompatibilitas transfusi sel darah merah, tidak hanya antigen A, B, dan O seperti di jaman Landsteiner. Kesemuanya memberikan wawasan bahwa transfusi ternyata tidaklah mudah. Berbagai tantangan dalam transfusi memicu berkembangnya konsep transfusi rasional dan aman. Bahkan akhirnya penemuan bahwa HIV dapat ditransmisikan melalui transfusi memicu berkembangnya sebuah cabang ilmu kedokteran yang bernama Transfusion Medicine (Kedokteran Transfusi) di Amerika pada tahun 1980. Dengan perkembangan ilmu ini, diharapkan transfusi menjadi lebih rasional, efektif, dan aman. Sebuah sejarah panjang sejak manusia mencoba mendapatkan kebaikan dari darah.