Minggu, 11 Desember 2011

HDN,, apakah ituuu,,,???


Mungkin kebanyakan dari kita merasa asing dengan istilah HDN. HDN atau Hemolytic Disease of New Born atau sering disebut sebagai erythroblastosis fetalis. Eritroblastosis fetalis terjadi akibat antibody aktif ibu melewati placenta dan melawan antigen sel darah merah bayi, yang menyebabkan kenaikan angka penghancuran sel eritrosit. Penyakit ini berlanjut menjadi penyebab penting anemia dan ikterus pada bayi baru lahir walaupun metode pencegahan isoimunisasi oleh ibu dengan antigen Rh telah dikembangkan. Walau telah diidentifikasi telah ada lebih dari 60 macam antigen sel darah merah yang mampu mendatangkan respons antibody pada resipien yang sesuai, penyakit yang berarti terutama dihubungkan dengan antigen d grup Rh dan dengan inkompatibilitas faktor ABO. Kadang-kadang penyakit hemolitik dapat disebabkan oleh antigen C atau E atau oleh antigen sel darah merah lainnya, seperti Cw, Cx, Du, K (Kell), m, Duffy, S, P, MNS, Xg, Lutheran, Diego, dan Kidd. Antibodi anti-lewis tidak menyebabkan penyakit hemolitik.

Penyebab HDN yang tersering sekarang adalah antibodi imun sistem golongan darah ABO – yang tersering adalah anti A yang dihasilkan oleh ibu bergolongan darah O terhadap janin golongan darah A. Walaupun demikian, bentuk HDN ini biasanya ringan. Beberapa kasus HDN disebabkan oleh antibodi sistem golongan darah lain seperti anti-Kell. Penyakit hemolitik jarang terjadi pada kehamilan pertama, karena transfusi darah janin yang Rh positif ke dalam ibu yang Rh negatif cenderung terjadi dekat waktu persalinan, dan sudah telambat bagi ibu untuk menjadi tersensitisasi serta memindahkan antibodinya kepada bayi sebelum persalinan. Kenyataanya 55% ayah Rh positif adalah Heterozygot (D/d) dan dapat mempunyai anak Rh negatif, dan hanya 50% kehamilan yang mengalami tranfusi janin-ibu sehingga mengurangi peluang sensitisasi; seperti pada keluarga kecil, kesempatan terjadinya hal ini adalah kecil. Akhirnya, kapasitas wanita Rh negatif untuk membentuk antibodi beragam, beberapa wanita menghasilkan titer yang rendah walaupun sudah kemasukkan antigen yang adekuat. Jadi, keseluruhan insidens isoimunisasi ibu Rh negatif yang beresiko adalah rendah, dengan antibodi terhadap antigen D yang terdeteksi kurang dari 10% dari mereka yang diteliti, bahkan sesudah lima kehamilan atau lebih hanya sekitar 5% yang pernah mempunyai bayi dengan penyakit hemolitik. Bila ibu dan ajnin juga tidak cocok, berkenaan dengan golongan A atau B, ibu sebagian diproteksi terhadap sensitisasi dengan jalan menyingkirkan sel-sel rh positif secara cepat dari sirkulasi ibu yaitu melalui anti-A atau anti-Bnya, yang merupakan antibodi IgM dan tidak melewati placenta. Bial ibu telah tersentisisasi bayi mungkin menderita penyakit hemolitik . ada kecenderunagn bahwa tingkat keparahan penyakit Rh menjadi lebih jelek dengan adanya kehamilan yang berturut-turut. Adanya kemungkinan bahwa bayi pertama yang terkena sesudah sensitisasi dapat menjadi pertanda terakhir bagi ibu untuk dapat melahirkan bayi Rh positif , telah menghasilkan usulan untuk segera melakukan pencegahan sensitisasi apabila hal ini memungkinkan. Pencegahan demikian terdiri atas injeksi gama globulin anti-D (RhoGam) pada ibu segera sesudah persalinan setiap bayi dengan Rh positif.
...Read More..

Rabu, 23 November 2011

Sejarah Transfusi Darah.....^_^


Sejak jaman dahulu manusia telah mengetahui bahwa kehilangan darah adalah sebuah peristiwa yang berpotensi fatal. Selain itu, manusiapun telah percaya bahwa darah mempunyai khasiat lain seperti membuat awet muda, menambah kekuatan, dll. Oleh sebab itu mandi darah di jaman Mesir atau minum darah di Jaman Romawi merupakan upaya untuk mendapatkan khasiat darah tersebut.

Perkembangan selanjutnya, dilakukan upaya untuk memindahkan darah dari donor ke resipien melalui pembuluh darah. Tidak hanya manusia sebagai donor, hewanpun dicoba sebagai donor. Upaya memindahkan darah melalui pembuluh darah menimbulkan banyak korban. Sebuah gejala klinis yang sekarang disebut sebagai hemolisis akut, waktu itu telah diketahui dan digambarkan bahwa resipien menjadi pucat, timbul rasa nyeri di daerah punggung dan perut, serta urin yang menjadi berwarna hitam. Di tahun 1492, dilakukan transfusi kepada Pope Innocent VIII yang sedang sakit berat dengan donor 3 anak muda. Dalam peristiwa itu donor dan resipien menemui ajal. Dengan banyaknya yang tidak selamat, The Edict of Chatelet dikeluarkan pada tahun 1668 oleh Parlemen Perancis. Isinya sebuah pernyataan bahwa transfusi adalah tindakan yang berbahaya dan tidak boleh dilakukan kecuali dengan ijin khusus dari Fakultas Kedokteran di Paris. Sebagai akibat dari peraturan tersebut transfusi tidak pernah lagi dipraktekkan atau paling tidak sangat sedikit tulisan tentang transfusi. Tidak tanggung-tanggung, 150 tahun lamanya transfusi mengalami masa dorman. 

Setelah sekian lama, semangat untuk melakukan lagi transfusi timbul dari seorang ahli kebidanan dari kandungan dari Inggris yang bernama James Blundell. Blundell merasa frustasi karena tidak mampu menolong para ibu yang meninggal akibat kehilangan darah saat persalinan. Di awal abad ke-19 Blundell kembali melakukan transfusi dari orang ke orang. Empat dari delapan pasien pertama dapat diselamatkan, tanpa diketahui mengapa hal tersebut terjadi.

Akhirnya,Yang Mahakuasa memberi ijin agar manusia mengetahui ilmu transfusi melalui Karl Landsteiner seorang ilmuwan dari Jerman pada tahun 1900 yang menemukan perbedaan antigenitas sel darah merah antar individu meskipun satu spesies. Landsteiner menemukan dua jenis antigen di permukaan sel darah merah manusia yaitu A dan B. Berdasarkan jenis antigen ini Landsteiner menggolongkan sel darah merah menjadi sel darah merah A dan B. Sel darah merah yang tidak mempunyai antigen A atau B digolongkan sebagai sel darah merah O. Didapatinya pula bahwa mereka yang mempunyai sel darah merah A, di dalam plasmanya terdapat antibodi terhadap antigen B atau anti-B. Sedangkan mereka yang mempunyai sel darah merah B, di dalam plasmanya tedapat anti-A. Mereka yang mempunyai golongan darah O tidak mempunyai anti-A maupun anti-B. Penemuan Landsteiner membuahkan Hadiah Nobel baginya, dan sangat berguna untuk melakukan transfusi yang jauh lebih aman. Sebelum ditransfusikan, sel darah merah donor diperiksa terlebih dahulu golongan darahnya, demikian pula resipien. Metode pemeriksaan yang dilakukan oleh Landsteiner saat ini tetap dilakukan dengan istilah blood grouping dan cross matching. Penelitian Landsteiner diteruskan oleh muridnya (Decastello dan Sturli) yang akhirnya menemukan sel darah merah yang mempunyai antigen A dan antigen B di permukaannya. Sel darah merah ini kemudian digolongkan sebagai sel darah merah AB.

Penemuan Landsteiner belum sepenuhnya memecahkan masalah pada transfusi. Sampai dengan tahun 1914 manusia masih melakukan direct transfusion dari donor ke resipien karena belum tahu bagaimana caranya mencegah terjadinya pembuan darah setelah darah disadap. Pada tahun 1915 Agote dan Lewisohn, secara terpisah, memperkenalkan bahwa sodium sitras dapat berfungsi sebagai antikoagulan. Pada tahun 1916 Rous dan Turner mempublikasikan studi tentang preservasi darah, kemudian studi ini diaplikasikan dalam Perang Dunia I oleh Oswald Robetson sehingga tidak perlu dilakukan direct transfusion.

Selain pencegahan pembekuan darah, biomaterial yang dipakai untuk menyimpan darah juga berpengaruh terhadap hasil dari transfusi. Semula darah disimpan dalam botol gelas, tetapi perkembangan ilmu menunjukkan bahwa gelas bukan biomaterial yang tepat untuk darah. Sejak tahun 1960-an darah disimpan dengan menggunakan plastik.

Tentang pengelolaan transfusi, pada tahun 1937 seorang dokter dari Amerika bernama Bernard Fantus merintis bank darah di Rumah Sakit Cook County Hospital, Chicago. Fantus juga merintis komite transfusi yang bersifat multidisiplin untuk menentukan indikasi transfusi. Prakarsa Fantus segera diikuti oleh rumah sakit lainnya.

Berakhirnya Perang Dunia semula memberikan asumsi bahwa transfusi adalah tindakan kedokteran yang akan menurun aplikasinya. Hal tersebut tidak terjadi, karena ternyata ditemukan berbagai penyakit yang membutuhkan darah sebagai salah satu terapi, dan bersifat live-saving therapy. Transfusi tetap dibutuhkan namun di sisi lain mulai didapati bahwa penyakit ternyata dapat ditularkan melalui transfusi. Selain itu ditemukan berbagai antigen sel darah merah yang sangat berperanan dalam kompatibilitas transfusi sel darah merah, tidak hanya antigen A, B, dan O seperti di jaman Landsteiner. Kesemuanya memberikan wawasan bahwa transfusi ternyata tidaklah mudah. Berbagai tantangan dalam transfusi memicu berkembangnya konsep transfusi rasional dan aman. Bahkan akhirnya penemuan bahwa HIV dapat ditransmisikan melalui transfusi memicu berkembangnya sebuah cabang ilmu kedokteran yang bernama Transfusion Medicine (Kedokteran Transfusi) di Amerika pada tahun 1980. Dengan perkembangan ilmu ini, diharapkan transfusi menjadi lebih rasional, efektif, dan aman. Sebuah sejarah panjang sejak manusia mencoba mendapatkan kebaikan dari darah.
...Read More..

Selasa, 22 November 2011

Keperawatan Bedah Syaraf

Berikut ini adalah macam- macam gangguan yang terjadi pada sistem syaraf kita... 
 
MIKROSEFALI
1. Mikrosefali Primer. Isi otak tidak banyak (kurang dibanding normal), tidak adanya perkembangan jaringan otak. Tidak perlu pertolongan bedah.
2. Mikrosefali Sekunder. Terjadi pada Bayi kurang dari 6 bulan yang mengalami pertumbuhan otak melebihi tulang tengkorak. Tulang sutura tumbuh dan menutup lebih cepat sehingga tulang tengkorak menyatu (Sinostosis). Mengakibatkan peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial). Dalam keadaan lanjut dapat terjadi kerusakan otak besar, gejala kejang, gangguan fungsi serebelar. Bola mata juga menonjol.
Penutupan dini dari sutura (Kraniostenosis) dapat terjadi secara menyeluruh (kepala kecil simetris) dan terdapat perbedaan kecepatan menutup.
  • Sinostosis Sagitalis : menjadikan bentuk kepala “Scapocephalus”
  • Sinostosis Unilateral : dari sutura koronaria menyebabkan “anterior plagiocephalus”
  • Sinostosis Sutura Metopik : menyebabkan “Trigonocephalus” 
Karakteristik Cairan Serebro Spinalis:
• Dibuat dalam kamar otak pada pleksus khoroidalis dan diserap Granulationes Arachoida.
• Merupakan saringan dari darah, dengan memisahkan butir darah dari cairannya. Oleh karena itu, sifat air otak sama dengan serum
• Jumlah yang diproduksi dalam satuan waktu sama dengan yang diserap.

MENINGO-ENSEFALOKEL
Terjadi pada janin yang mengalami gangguan penyatuan bagian tulang tengkorak sisi kiri dan kanan. Lubang tulang yang terjadi akibat tidak merapatnya tulang, menyebabkan isi tengkorak dapat menonjol keluar di bawah kulit kepala yang disebut sebagai Meningokel apabila yang menonjol hanya selaput otak; Meningoensefalokel apabila penonjolan berisi selaput otak dan sebagian jaringan otak. Kelainan ini terjadi di garis tengkorak, dapat mulai di daerah hisung, dahi, sampai belakang kepala.

SPINA BIFIDA, MENINGOMIELOKEL, MENINGOKEL SPINALIS
Terjadi di daerah spinal, menyangkut sumsum tulang atau medulla spinalis disertai gangguan BAB/BAK, kelumpuhan anggota gerak, dan kelainan bentuk tungkai.

PERDARAHAN INTRAKRANIAL 
  • Perdarahan Epidural Mengakibatkan terkumpulnya hematom di ruang antara tulang dan duramater. Bisa dari pembuluh atreri maupun vena. Penurunan kesadaran disebabkan oleh hematom yang menekan otak. Kasus perdarahan murni (tanpa kontusio), pasien umumnya tetap sadar setelah trauma, namun dengan makin besarnya volume hematom lama kelamaan kesadaran akan menurun sejalan dengan besarnya tekanan oleh hematom ke otak. Jangka waktu antara terjadinya trauma dan penuruna kesadaran disebut Lucid Interval. Perdarahan epidural paling sering berasal dari putusnya arteri meningea media karena aliran arteri lebih kuat dan lebih cepat dibanding vena maka prognosenya cepat memburuk.
  • Perdarahan Subdural Terjadi karena perdaraha vena di ruang antara duramater dan arakhnoid. Memberi interval lucid yang panjang dan kelainan neurologis yang timbul berjalan lambat.  
  • Perdarahan Intra Serebral Perdarahan darah dalam jaringan otak. Umumnya diikuti kontusio serebri.
TUMOR OTAK 
Mengakibatkan peningkatan TIK, penuruna kesadaran, gangguan fungsi otak besar dan saraf otak, epilepsi, perubahan tanda- tanda vital, kebutaan, gangguan pendengaran, dan gangguan hormonal. Keadaan yang dapat menyerupai tumor adalah massa butuh ruang.  
Yang termasuk golongan infeksi antara lain: 
  • Abses Serebri. Sering sebagai ikutan radang di daerah THT atau pada anak dengan cacat bawaan jantung.
  • Tuberkuloma. Tumor yang ditimbulkan oleh radang spesifik.

HERNIA NUKLEI PULPOSUS (HNP) 
Kelainan yang terjadi adalah penekanan akar saraf (radix) oleh penonjolan /prolaps dari diskus intervertebralis. Tempat terjadinya HNP umumnya dari vertebra yang dapat bergerak. Tindakan bedah saraf adalah untuk mengangkat diskus yang prolaps. Apabila HNP disertai dengan keadaan sumsum tulang yang tidak stabil, maka bersamaan dengan pengangkatan diskus yang prolaps. Juga dilakukan fiksasi tulang punggung untuk daerah lumbal yang implant, servikal dengan autograf tulang.
...Read More..

Senin, 21 November 2011

APA SICH CEREBRAL PALSY ITU.....

Mungkin banyak yang masih awam dengan istilah Cerebral palsy itu. karena itu banyak yang tak tahu cara menanganinya. Padahal anak yang mengalami cerebral palsy ini akan mengalami gangguan motorik dan tumbuh kembang. Cerebral Palsy adalah gangguan fungsional otak, bersifak kronis, menetap, namun tidak progresif. penyebabnya ada gangguan selama proses pertumbuhan otak yang berlangsung pada 0-5 tahun. Gangguan otak ini biasanya terjadi selama kehamilan.

Ada 2 penyebab yaitu kongenital dan dapatan.
1. Cerebral Palsy Dapatan (Aquired).
Terjadi kerusakan otak selama bulan atau tahun pertama bayi setelah dilahirkan, misalnya radang otak, trauma kepala karena kecelakaan, jatuh atau dianiaya.
2. Cerebral Palsy Kongenital. 
Terjadi ketika di dalam kandungan., atau ketika proses kelahiran yang disertai kerusakan pusat motorik pada otak yang sedang berkembang.

Faktor Risiko antara lain bayi lahir prematur, BBLR, proses persalinan yang sulit, atau bayi kejang setelah dilahirkan. Tanda awalnya biasanya tampak pada usia kurang dari 3 tahun. Orang tua biasanya curiga ketika kemampuan motorik anak tidak normal. misalnya si kecil terlambat tengkurap, duduk, merangkak atau berjalan.

Tipe Cerebral Palsy antara lain
1. Tipe Spastik. 
Penderita mengalami kekakuan otot dan secara permanen menjadi kontraktur/cacat. Kalaupu bisa berjalan dua tungkainya tampak kaku dan lurus.
2. Tipe Atetoid. 
Mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tak terkontrol. Gerakan abnormal bisa mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai. Pada sebagian besar kasus mengenai otot wajah dan lidah. Sehingga anak tampak selalu menyeringai dan ngiler.
3. Tipe Ataksid.
Tipe ini jarang dijumpai. Anak mengalami gangguan keseimbangan dan persepsi. Kerap mengalami tremor ketika mengambil sebuah benda.
4. Tipe Campuran.
Penderita mengalami lebih dari satu bentuk Cerebral Palsy. Cerebral Palsy sulit disembuhkan, tetapi dapat dilatih untuk hidup mandiri. Minimal melakukan aktivitas dasar tanpa bantuan. Misalnya makan, minum,serta mandi. (dr. Prasetya Indra Gunawan Sp.A.)
Semoga Bermanfaat.....
...Read More..

Minggu, 20 November 2011

Stimulasi Permainan Untuk Anak...

          Stimulasi dini adalah rangsangan bermain yang diberikan sejak bayi baru lahir. Rangsangan atau stimulasi ini sebaiknya diberikan sejak janin berusia 6 bulan di dalam kandungan.Hal ini karena, stimulasi dipercaya dapat mempengaruhi pertumbuhan sinaps yang penting untuk kecepatan proses pembelajaran dan memori. Cara menstimulasi janin yang masih dikandungan yaitu dengan mengajaknya berbicara di dekat perut si ibu, menyanyikan lagu,membacakan doa, lagu lagu keagamaan sambil mengelus perut si ibu. Dapat juga menempelkan earphone di perut ibu. Untuk bayi dan balita, stimulasi dapat diberika sesuai dengan usia perkembangannya..  

Usia 0-3 bulan berikan rasa nyaman, menyenangkan dengan menggendong, memeluk, menatap mata bayi, mengajak tersenyum, menggerakkan benda benda yang berwarna mencolok, benda berbunyi, menggulingkan bayi kekiri/ kanan, tengkurap, dan dirangsang untuk meraih dan memegang benda.

Usia 3- 6 bulan bermain "cilukba", melhat wajah bayi dicermin, dirangsang untuk tengkurap, telentang bolak balik dan duduk. 

Usia 6-9 bulan panggil namanya, tepuk tangan, bersalaman, bacakan dongeng, latihan berdiri berpegangan, rangsang duduk.

Usia 9-12 bulan mengulang menyebut mama-papa, masukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas, menggelindingkan bola, latih berdiri, dan latih berjalan berpegangan. 

Usia 12-18 bulan latihan dengan corat coret pensil warna, susun kubus, balok,puzzle, masukkan dan keluarkan benda dari dalam wadah, mainan dengan boneka. latihan berjalan tanpa berpegangan,jalan mundur, lepas celana, mengerti dan melakukan perintah sederhana, sebutkan nama dan tunjuk benda benda. 

Usia 18-24 bulan tanyakan, sebutkan dan tunjuk bagian tubuh, tanyakan gambar atau sebut nama binatang, ajak bicara tentang kegiatan sehari hari, latihan gambar garis, cici tangan, pakai baju, melempar bola, melompat. 

Usia 2-3 tahun mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat, sebut nama teman ,hitungan, sikat gigi, pakai baju, gambar garis, lingkaran, latihan berdiri di satu kaki, toilet trainning. 

Usia setelah 3 tahun mengembangkan kemampuan umur umur sebelumnya, dipersiapkan untuk bersekolah, memegang pensil dengan baik, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, kemandirian dan berbagi dengan teman.
...Read More..

Kamis, 17 November 2011

PUBLIC HEALTH NURSING : Practicing Population Based Care

Title        : Public Health Nursing: Practicing Population-Based Care
Author    : Marie Truglio-Londrigan, Sandra B. Lewenson
Publisher: Jones & Bartlett Publishers
ISBN      :
0763766542
ISBN13  :
Date       : 2010-01-14
Pages     : 600
Language: English
Format   : PDF
Size        : 5.03 MB

Description:
          Public Health Nursing: Practicing Population-Based Care explores the scientific discipline of public health and in particular public health nursing. This public health nursing perspective is applied throughout the chapters and demonstrates how public health nurses use various interventions based on best evidence in their practice, both to protect and enhance the health of the public. This innovative text includes key topics such as a discussion of historical evidence in coming to know the meaning of the terms used to describe public health nursing; the exploration of the use of technology in public health; social epidemiology as well as the traditional content on epidemiology; and an innovatively designed assessment tool that uses Healthy People 2010, A Systematic Approach to Health Improvement, as its framework. The highlight of this text is the focus on the 17 intervention strategies identified in the Population-Based Public Health Nursing Practice Intervention Wheel including a discussion of how these interventions may be applied to the three levels of practice: individual/family, community, and systems.

(phtrx24) ...Read More..

Sabtu, 05 November 2011

PELAYANAN GADAR DI PUSKESMAS

          Pelayanan Gawat Darurat di Puskesmas merupakan bagian dari sistem rujukan pelayanan kesehatan sebagai pintu pertama penurunan angka kematian dan kecacatan sehingga memerlukan sarana dan prasarana yang memadai serta keterampilan yg harus selalu ditingkatkan.
Ini kesimpulan dari hasil Pertemuan di Dinkes Sidoarjo kemarin tentang Pelayanan Gadar di Puskesmas. kalo pingin baca lebih lengkap download materinya di bawah ya...  ~.~ semoga bermanfaat.(phtrx24)

link download :

...Read More..

Minggu, 16 Oktober 2011

Obat Anti Aritmia

Aritmia merupakan abnormalitas listrik pada jantung yang dapat enyebabkan kematian mendadak pada pasien dengan penyakit PJK Pemberian terapi tidak hanya dengan membaca/membuat interpretasi EKG saja tetapi harus menilai keadaan klinis pasien secara menyeluruh. Ketidakakuratan terapi dapat terjad jika pelaku BHJL melakukan diagnosis berdasarkan ritme jantung saja dan tidak melakukan evaluasi gejala klinis pasien, seperti ventilasi, oksigenasi, detak jantung, TD, ambang batas kesadaran, Tanda-tanda lain. Keadaan asam basa (BGA) dibutuhkan juga untuk melengkapi data klinis pasien. 1. ADENOSIN Indikasi Obat utama pada takikardia dengan QRS sempit, PSVT (paroxymal Supraventrikular Tachycardia). Efektif untuk menghentikan proses masuk kembali yang terjadi pada nodus AV dan Nodus SA. Obat ini tidak mempunyai efek untuk menghentikan fibrilasi atrial, flutter atrial atau takikardia ventrikel. Efek samping dan perhatian khusus • Flushing, periode asistol atau brakikardia, ventrikular ektopi • Kurang efektif pada pasien yang mengonsumsi teofilin, jangan berikan pada pasien yang mendapat dipiridamole • Jika diberikan pada takikardia dengan QRS lebar (VT) karena dapat menyebabkan perburukan termasuk hipotensi • Periode transien sinus brakikardia dan ventrikel ektopik bisa terjadi setelah terminasi SVT Kontraindikasi • Blok AV derajat 2 atau 3 • Takikardia yang disebabkan karena obat Dosis • Letakkan pasien pada posisi trendelenberg sebelum pemberian obat • Bolus 6 mg IV cepat dalam waktu 1-3 detik diikuti bolus saline normal 20 ml, kemudian lengan diangkat • Ulangi pemberian 12 ml IV dalam 1-2 menit jika diperlukan, dapat diulangi lagi • Adenosin 12 mg IV dapat diberikan dengan jarak 1-2 menit setelah pemberian dosis kedua 2. AMIODARON Indikasi Digunakan secara luas untuk fibrilasi atrial dan takiaritmia ventrikular. Selain itu untuk mengontrol kecepatan nadi pada aritmia atrial dan pada pasien dengan funsi ventrikel kiri yang menurun jika pemberian digoksin sudah tidak efektif. Pemberian direkomendasikan pada keadaan berikut: • Pengobatan VF yang refrakter atau VT tanpa nadi • Pengobatan VT yang polimorfik dan takikardi dengan QRS lebar yang tidak jelas sumbernya • Sebagai obat pndukung pada kardioversi elektrik kasus SVT dan PVST • Takikardi atrial multifokal dengan fungsi ventrikel kiri yang baik • Mengontrol kecepatan nadi fibrilasi atrial Efek samping dan perhatian khusus • Vasodilatasi dan hipotensi • Memiliki efek inotropik negatif • Memiliki efek memperpanjang interval QT Dosis • Pada henti jantung 300 mg IV cepat (dalam panduan AHA th 2000, dianjurkan untuk diencerkan dengan 20-30 ml dekstrose 5%). Pertimbankan pemberian berikutnya sebanyak 150 mg IV dalam 3-5 menit. Dosis kumulatif maksimum 2,2 gram IV/24 jam. • Pada kompleks QRS lebar yang stabil, maksimum pemberian 2,2 gramIV/24 jam. Cara pemberian dengan bolus 150 mcg IV dalam 5-10 menit dapat diulang 150 mg IV setiap 10 menit jika diperlukan. Dilanjutkan dosis 360 mg IV selama 6 jam (1mg/menit). Dosis pemeliharaan 540 mg IV dalam 18 jam (0,5 mg/menit). Jangan diberikan secara bersamaan dengan procainamide. 3. SULFAS ATROPIN Indikasi • Obat utama pada sinus brakikardia (kelas 1). Mungkin memiliki efek pada AV blok pada level nodal (kelas 2A) atau pada asistol ventrikular. Tidak efektif pada tingkat blok infranodal (mobitz tipe 2) (kelas 2 B) • Obat pilihan kedua setelah epinefrin atau vasopressin untuk asistol , brakikardi, dan Pulseless electrical activity (kelas 2 B) Efek samping dan perhatian khusus • Hati –hati pemberian pada hipoksia dan iskemia karena iskemia dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard • Hindari pada bradikardia hipotermi • Tidak efektif untuk infra nodal AV blok ,dan AV blok tipe 3 dengan QRS kompleks yang lebar Cera pemberian Pada asistol atau Pulseless electrical activity 1mg IV cepat, diulangi setiap 3-5 menit. Jika asistol menetap dapat diulangi dampai mencapai dosis maksimum 0,03-0,04 mg/kgBB Pada brakikardia diberikan 0,5-1 mg IV setiap 3-5 menit sesuai kebutuhan tidak melebihi 0,04 mg/kg BB. Penggunaan dengan interval jangka pendek (3 menit) dan dosis yang lebih tinggi (0,04mg/kg BB) deberikan pada kondisi klinis yang berat. Pemberian melalui trakea dengan dosis 2-3 X dosis IV diencerkan dalam 10 ml saline normal. 4. VERAPAMIL Indikasi • Obat pliha alternatif setelah adenosine untuk menghentikan PSVT (paroxysmal supraventrikular tachycardia) dengan QRS sempit dan tekanan darah yang adekuat dan fungsi ventrikel kiri yang baik • Mengontrol respons ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrial, flutter atrial atau multifokal atrial takikardia. Kontraindikasi dan efek samping • Jangan digunakan pada takikardia dengan QRS kompleks yang lebar yang tidak diketahui sumbernya • Jangan diberikan pada WPW dan fibrilasi atrial, sick sinus syndrome, atau AV blok dearjat 2 dan 3 • Dapat menyebabkan vasodilatasi perifer dan penurunan kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan hipotensi Cara pemberian • 2,,5 – 5 mg IV bolus selama lebih dari 2 menit. Dosis berikutnya 5-10 mg IV jika diperlukan dengan interval waktu 15-30 menit dari pemberian dosis pertama. Dosis meksimum 20mg IV • Alternatif : 5 mg bolus tiap 15 menit dengan total dosis 30 mg. Pada usia lanjut obat diberikan selama lebih dari 3 menit. 5. DILTIAZEM Untuk mengontrol kecepatan nadi pada fibrilasi atrial dan flutter atrial. Dapat menghentikan re-entrant arrhytmia pada tingkat AV nodal. Digunakan setelah pemberian adenosin untuk mengibati PSVT pada pasien dengan QRS kompleks yang sempit dan tekanan darah yang adekuat. Efek samping • Jangan gunakan penghambat kanal kalsium pada QRS kompleks lebar dengan sumber yang tidak jelas atau obat-obatan yang memicu takikardia • Cegah pemberian penghambat kanal kalsium pada pasien dengan sindrom wolf-parkinson-white dengan fibrilasi atrial atau flutter atrial, sick sinus syndrome atau pasien dengan blok AV • Perhatian bahwa tekanan darah dapat menurun akibat vasodilatasi perifer Cara pemberian Untuk mengontrol denyut nadi, berikan 15-20 (0,25 mg/kg) IV selama lebih dari 2 menit. Dapat diulangi 15 menit kemudian dengan dosis 20-25 mg(0,35 mg/kg) selama lebih dari 2 menit. Dosis pemeliharaan 5-15 mg/jam, dititrasi sesuai dengan denyut nadi. Dapat deiencerkan dengan dekstrose 5% atau normal saline. 6. LIDOKAIN Indikasi Diberikan pada henti jantung dengan irama VF/VT tanpa nadi. Bisa juga diberikan pada VT stabil, dengan kompleks QRS lebar dengan tipe yang tidak jelas. Dapat diberikan melalui selang endotrakeal. Efek samping • Jika pemberian berlebihan dapat menimbulkan tanda- tanda toksisitas • Dosis dikurangi pada pasien dengan fungsi hati yang menurun, maupun fungsi ventrikel kiri yang menurun • Pemberian pencegahan pada IMA tidak dianjurkan Cara pemberian • Dosis awal 1-15 mg/kg BB IV bolus • Untuk VF refrakter :0,5 – 0,75 mg/kg IV diulangi 5-10 menit kemudian, dengan dosis maksimum 3 ml?kg BB • Dosis tunggal 1,5 mg/kg BB IV pada henti jantung • Pemberian melalui trakea 2-4 mg/kg BB Pada aritmia VT stabil , QRS kompleks lebar dengan tipe yang tidak jelas, ektopi yang signifikan, dosisnya adalah 0,5 – 0,075 mg/kg BB IV sampai 1-1,5 mg/kg BB IV diulangi setiap 5 – 10 menit dengan total dosis 3 mg/kg. Dosis pemeliharaan 1-4 mg/menit IV (30-50 ug/kg BB per menit) diencerkan dalam D5W D10W atau normal saline 7. MAGNESIUM SULFAT Indikasi • Dianjurkan pada henti jantung hanya jika terjadi Torsaides de Pointes atau hipomagnesemia • VF refrakter (setelah pemberian lidokain) • Torsaides de Pointes dengan nadi • Mengobati ventrikel aritmia yang disebabkan intoksikasi digitalis • Pemberian profilaksis pada IMA tidak dianjurkan Kontraindikasi Seringkali terjadi penurunan TD pada waktu diberikan secara tepat Hati – hati pemberian pada orang yang terkena gagal jantung Dosis • Pada henti jantung (jika terjadi hipomagnesemia) atau Torsaides de pointes • Torsaides de pointes (tanpa henti jantung) : bolus 1-2 g dicampur dalam 50-100 cc D5W selama lebih dari 5-60 menit IV. Lanjutkan dengan 0,5-1g perhari IV • IMA jika ada indikasi : bolus 1-2 g dicampur dalam 50-100 cc D5W selama lebih dari 5-60 menit IV. Lanjutkan dengan 0,5-1g perhari IV ...Read More..

Sabtu, 15 Oktober 2011

Vulnussss........

Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer, 2000:396)Menurut InETNA, luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan substansi jaringan 2. Klasifikasi Luka Luka dibedakan berdasarkan : 1) Berdasarkan penyebab a) Ekskoriasi atau luka lecet b) Vulnus scisum atau luka sayat c) Vulnus laseratum atau luka robek d) Vulnus punctum atau luka tusuk e) Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang f) Vulnus combotio atau luka bakar 2) Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan jaringan a) Ekskoriasi b) Skin avulsion c) Skin loss 3) Berdasarkan derajat kontaminasi a) Luka bersih a) Luka sayat elektif b) Steril, potensial terinfeksi c) Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,traktus elimentarius, traktus genitourinarius. b) Luka bersih tercemar a) Luka sayat elektif b) Potensi terinfeksi : spillage minimal, flora normal c) Kontak dengan orofaring, respiratorius, elimentarius dan genitourinarius d) Proses penyembuhan lebih lama c) Luka tercemar a) Potensi terinfeksi: spillage dari traktus elimentarius, kandung empedu, traktus genito urinarius, urine b) Luka trauma baru : laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi. d) Luka kotor a) Akibat proses pembedahan yang sangat terkontaminasi b) Perforasi visera, abses, trauma lama. 3. Tipe Penyembuhan luka Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang. 1) Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan. 2) Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka. 3) Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir (Mansjoer,2000:397 ; InETNA, 2004:4). 4. Fase Penyembuhan Luka Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan. 1) Fase Inflamasi Tahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari. Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan. 2) Fase Proliferasi Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase proliferasi. 3) Fase Maturasi Tahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka (Mansjoer,2000:397 ; InETNA, 2004:1). 5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (InETNA,2004:13). 1) Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit penyerta (hipertensi, DM, Arthereosclerosis). 2) Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi : pengobatan, radiasi, stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan (InETNA,2004:13). 6. Komplikasi Penyembuhan Luka Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah : hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence, keloids, formasi hipertropik scar dan juga infeksi luka (InETNA,2004:6). 7. Penatalaksanaan/Perawatan Luka Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan. a. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi). b. Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk mensucihamakan kulit. Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik seperti: 1) Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam 2 menit). 2) Halogen dan senyawanya a) Yodium, merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum luas dan dalam konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam b) Povidon Yodium (Betadine, septadine dan isodine), merupakan kompleks yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil karena tidak menguap. c) Yodoform, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya untuk antiseptik borok. d) Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa biguanid dengan sifat bakterisid dan fungisid, tidak berwarna, mudah larut dalam air, tidak merangsang kulit dam mukosa, dan baunya tidak menusuk hidung. 3) Oksidansia a) Kalium permanganat, bersifat bakterisid dan funngisida agak lemah berdasarkan sifat oksidator. b) Perhidrol (Peroksida air, H2O2), berkhasiat untuk mengeluarkan kotoran dari dalam luka dan membunuh kuman anaerob. 4) Logam berat dan garamnya a) Merkuri klorida (sublimat), berkhasiat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. b) Merkurokrom (obat merah)dalam larutan 5-10%. Sifatnya bakteriostatik lemah, mempercepat keringnya luka dengan cara merangsang timbulnya kerak (korts) 5) Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%). 6) Derivat fenol a) Trinitrofenol (asam pikrat), kegunaannya sebagai antiseptik wajah dan genitalia eksterna sebelum operasi dan luka bakar. b) Heksaklorofan (pHisohex), berkhasiat untuk mencuci tangan. 2) Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol), merupakan turunan aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam konsentrasi 0,1%. Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi (Mansjoer, 2000:390). Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam pencucian luka harus cairan yang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan antiseptik yang telah dijelaskan diatas ada cairan pencuci luka lain yang saat ini sering digunakan yaitu Normal Saline. Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi natrium klorida 9,0 g dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl- 154 mEq/l (InETNA,2004:16 ; ISO Indonesia,2000:18). c. Pembersihan Luka Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari terjadinya infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris (InETNA, 2004:16). Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu : 3) Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati dan benda asing. 4) Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati. 5) Berikan antiseptik 6) Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi lokal 7) Bila perlu lakukan penutupan luka (Mansjoer,2000: 398;400) d. Penjahitan luka Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8 jam boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per sekundam atau per tertiam. e. Penutupan Luka Adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga proses penyembuhan berlangsung optimal. f. Pembalutan Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada penilaian kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap penguapan, infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom. g. Pemberian Antibiotik Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik. h. Pengangkatan Jahitan Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Waktu pengangkatan jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi, jenis pengangkatan luka, usia, kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi (Mansjoer,2000:398 ; Walton, 1990:44).. Tabel 1. Waktu Pengangkatan Jahitan No Lokasi Waktu 1 Kelopak mata 3 hari 2 Pipi 3-5 hari 3 Hidung, dahi, leher 5 hari 4 Telinga,kulit kepala 5-7 hari 5 Lengan, tungkai, tangan,kaki 7-10+ hari 6 Dada, punggung, abdomen 7-10+ hari Sumber. Walton, 1990:44 ...Read More..

Selasa, 04 Oktober 2011

sekilas tentang desinfeksi dan antiseptik...

disini akan dijelaskan berbagai macam kegunaan, perbedaan serta keuntungan dan kerugian dari desinfeksi antiseptikDESINFEKSI DAN ANTISEPTIK • Desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan kimia atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi dengan dalam membunuh mikroorganisme patogen. Disenfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan ini dinamakan antiseptik. • Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada benda mati. Disinfectant dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya tergantung dari toksisitasnya. • Sebelum dilakukan desinfeksi, penting untuk membersihkan alat-alat tersebut dari debris organik dan bahan-bahan berminyak karena dapat menghambat proses disinfeksi. (Signaterdadie, 2009) ANTISEPTIK • Banyak zat kimia yang digolongkan sebagai antiseptik. Berikut antiseptik yang umumnya digunakan : 1. Alkohol 60-90% (etil, atau isopropil, atau ”methylated spirit”). 2. Klorheksidin glukonat 2-4% (Hibiclens, Hibiscrub, Hibitane). 3. Klorheksidin glukomat dan setrimide, dalam berbagai konsetrasi (Savlon). 4. Yodium 3%, yodium dan produk alkohol berisi yodium atau tincture (yodium tinktur). 5. Iodofor 7,5-10% berbagai konsentrasi (Betadine atau Wescodyne). 6. Kloroksilenol 0,5-4% (para kloro metaksilenol atau PCMX) berbagai konsentrasi (Dettol). 7. Triklosan 0,2-2% . (Syaifudin, 2005). • Dalam pemilihan suatu antiseptik, perlu diperhatikan karakteristik yang diinginkan (misalnya absorpsi dan daya tahan), keamanan, efektivitas, ketersediaan, penerimaan oleh staf dan yang terpenting biayanya (Boyce dan Pitter 2002; Larson 1995; Rutala 1996). Larutan antiseptik yang dianjurkan, aktivitas mikrobiologinya dan potensi penggunaannya. (sistem gradasi yang digunakan pada kolom adalah sangat baik, baik, cukup dan tidak) (Syaifudin, 2005). AKTIVITAS MELAWAN BAKTERI (AKTIVITAS MIKROBIOLOGIS) 1. Kelompok: Alkohol (60-90% etil atau isopropil)  Gram-positif: Sangat Baik  Gram-negatif terbanyak: Sangat Baik  TB: Sangat Baik  Virus: Sangat Baik  Jamur: Sangat Baik  Endospora: Nihil  Tindakan kecepatan relatif: Cepat 2. Kelompok: Klorheksidin (2-4%) (Hibitane, Hibiscrub).  Gram-positif: Sangat Baik  Gram-negatif terbanyak: Baik  TB: Sedang  Virus: Sangat Baik  Jamur: Sedang  Endospora: Nihil  Tindakan kecepatan relatif: Sedikit 3. Kelompok: Pemberian Iodin (3%)  Gram-positif: Sangat Baik  Gram-negatif terbanyak: Sangat Baik  TB: Sangat Baik  Virus: Sangat Baik  Jamur: Baik  Endospora: Sedang  Tindakan kecepatan relatif: Ditandai 4. Kelompok: Iodofor (7,5-10%) (betadine)  Gram-positif: Sangat Baik  Gram-negatif terbanyak: Sangat Baik  TB: Sedang  Virus: Baik  Jamur: Baik  Endospora: Nihil  Tindakan kecepatan relatif: Sedang 5. Kelompok: Para-kloro Metaksilenol (PCMX) (0,5-4%)  Gram-positif: Baik  Gram-negatif terbanyak: Sangat Baik  TB: Sedang  Virus: Baik  Jamur: Tidak diketahui  Endospora: Tidak diketahui  Tindakan kecepatan relatif: Lambat 6. Kelompok: Triklosan (0,2-2%)  Gram-positif: Sangat Baik  Gram-negatif terbanyak: Baik  TB: Sedang  Virus: Sangat Baik  Jamur: Nihil  Endospora: Tidak diketahui  Tindakan kecepatan relatif: Minim KEGUNAAN POTENSIAL 1. Kelompok: Alkohol (60-90% etil atau isopropil)  Terinfeksi bahan organik: Cukup  Basuh operasi: Ya  Persiapan kulit : Ya  Keterangan: Tidak digunakan pada selaput lendir. Tidak baik untuk pembersihan kulit, tidak tertahan lama. 2. Kelompok: Klorheksidin (2-4%) (Hibitane, Hibiscrub).  Terinfeksi bahan organik: Sedikit  Basuh operasi: Ya  Persiapan kulit : Ya  Keterangan: Punya daya tahan yang bagus beracun untuk mata dan telinga. 3. Kelompok: Pemberian Iodin (3%)  Terinfeksi bahan organik: Ditandai  Basuh operasi: Tidak  Persiapan kulit : Ya  Keterangan: Tidak digunakan pada selaput lendir. Bisa membakar kulit, hilang setelah beberapa menit. 4. Kelompok: Iodofor (7,5-10%) (betadine)  Terinfeksi bahan organik: Cukup  Basuh operasi: Ya  Persiapan kulit : Ya  Keterangan: Bisa digunakan pada selaput lendir. 5. Kelompok: Para-kloro Metaksilenol (PCMX) (0,5-4%)  Terinfeksi bahan organik: Minim  Basuh operasi: Tidak  Persiapan kulit : Ya  Keterangan: Menembus pada kulit, jangan digunakan pada bayi baru lahir. 6. Kelompok: Triklosan (0,2-2%)  Terinfeksi bahan organik: Minim  Basuh operasi: Ya  Persiapan kulit : Tidak  Keterangan: Penerimaan pada tangan bervariasi. Sumber data : Diadaptasi dari Boyce dan Pittet 2002, Olmted 1996. Keuntungan dan kerugian antiseptik, sebagai berikut : a. Alkohol • Etil dan isopropil alkohol 60-90% merupakan antiseptik yang baik dan mudah diperoleh serta murah. Sangat efektif dalam mengurangi mikroorganisme di kulit. Juga efektif terhadap virus hepatitis dan HIV, jangan dipakai untuk selaput lendir (misalnya di vagina), karena alkohol mengeringkan dan mengiritasi selaput lendir dan kemudian merangsang pertumbuhan mikroorganisme. • Menurut Larson (1995) alkohol merupakan salah satu antiseptik paling aman. Etil atau isopropil alkohol 60-70% efektif dan pengeringan kulit kurang pada konsentrasi lebih tinggi, lebih murah dari yang konsentrasi lebih tinggi. Karena pengeringan pada kulit kurang, etil alkohol lebih sering digunakan pada kulit. 1. Keuntungan : 1. Cepat membunuh jamur dan bakteri termasuk mikrobakteri; isopropil alkohol membunuh sebagian besar virus, termasuk HBV dan HIV; etil alkohol membunuh semua jenis virus. 2. Walaupun alkohol tidak mempunyai efek membunuh yang persisten, pengurangan cepat mikroorganisme di kulit, melindungi organisme tumbuh kembali bahkan di bawah sarung tangan selama beberapa jam. 3. Relatif murah dan tersedia di mana-mana. 2. Kerugian : 1. Memerlukan emulien (misalnya gliserin dan atau propilen glikol) untuk mencegah pengeringan kulit. 2. Mudah pengeringan kulit. 3. Mudah diinaktivasi oleh bahan-bahan organik. 4. Mudah terbakar sehingga perlu disimpan di tempat dingin atau berventilasi baik. 5. Merusak karet atau lateks. 6. Tidak dapat dipakai sebagai bahan pembersih. (Syaifudin, 2005) b. Klorheksidin Glukonat (CHG) • Klorheksidin glukonat adalah antiseptik yang sangat baik. Ia tetap aktif terhadap mikroorganisme di kulit beberapa jam sesudah pemberian dan aman bahkan untuk bayi dan anak. Karena klorheksidin glukonat diinaktivasi oleh sabun, aktivitas residualnya bergantung pada konsentrasinya. Konsentrasi 2-4% merupakan yang dianjurkan. Formulasi baru 2% dalam air dan 1% klorheksidin tanpa air, dicampur alkohol juga efektif. 1. Keuntungan : 1. Antimikrobial spektrum luas. 2. Secara kimiawi aktif paling sedikit 6 jam. 3. Perlindungan kimiawi (jumlah mikroorganisme terhalang) meningkat dengan penggunaan ulang. 4. Pengaruh material organik minimal. 5. Tersedia produk komersial, yang umum adalah dicampur dengan deterjen dan alkohol. 2. Kerugian : 1. Mahal dan tidak selalu tersedia. 2. Efek dikurangi atau dinetrelisasi oleh sabun, air ledeng, dan beberapa krim tangan. 3. Tidak efektif terhadap basil TBC, baik dan efektif melawan jamur. 4. Tidak dapat dipakai pada pH > 8 karena mengalami dekomposisi. 5. Hindari kontak dengan mata, karena dapat mengakibatkan konjungtivitas. (Syaifudin, 2005) c. Larutan Yodium dan Iodofor • Larutan yodium 3% sangat efektif dan tersedia dalam bentuk cair (lugol) dan tinktur (yodium dalam alkohol 70%). Iodofor 7,5-10% adalah larutan yodium dicampur dengan polivinil pirolidon (providon) yang mengeluarkan yodium jumlah kecil. PVI adalah iodofor yang umum dan tersedia di mana-mana. • Sejumlah yodium “bebas” menunjukkan tingkat aktivitas anti mikrobial iodofor (misalnya 10% povidon iodin berisi 1% iodin, menghasilkan konsentrasil “bebas” iodin dari 1 ppm (0,0001%) (Anderson, 1989). Iodofor mempunyai aktivitas spektrum yang luas. Ia membunuh bakteria vagetatif, virus mikrobakteria, dan jamur. Namun, ia memerlukan waktu 2 menit untuk mengeluarkan yodium bebas yang merupakan bahan kimiawi aktif. Sejak mengeluarkan yodium bebas, ia mempunyai efek membunuh yang cepat. Akhirnya, iodofor umumnya nontaksik dan non-iritaif pada kulit dan selaput lendir, kecuali jika pasiennya alergi terhadap yodium. 1. Keuntungan 1. Efek antimokrobial spektrum luas. 2. Preparat yodium cair murah, efektif, dan tersedia di mana-mana. 3. Tidak mengiritasi kulit atau selaput lendir, dan ideal untuk pembersihan vaginal. 4. Larutan 3% tidak menodai kulit. 2. Kerugian : 1. Efek antimikrobial lambat atau perlahan. 2. Iodofor mempunyai efek residual yang kecil. 3. Cepat diinaktivasi oleh material organik seperti darah atau dahak. 4. Yodium tinktur atau cairan dapat mengiritasi kulit dan harus dibersihkan dari kulit sesudah kering (pakai alkohol). 5. Absorpsi yodium bebas melalui kulit dan selaput lendir dapat mengakibatkan hiptiroidisma pada bayi baru lahir. Oleh karena itu batasi pemakaiannya (Newman 1989). 6. Reaksi alergi terhadap iodin dan iodofor dapat terjadi, jadi cek riwayat alergi. (Syaifudin, 2005) d.Kloroheksilenol • Kloroheksilenol (para-kloro-metaksilenol atau PCMX) adalah devisi halogen dari silenol yang luas tersedia dalam konsentrasi 0,5-4%. Kloroheksilenol memecahkan mikroorganisme dengan memecah dinding sel. Hal ini merupakan penghapus kuman yang beraktivitas rendah (Fevero, 1985) dibandingkan dengan alkohol, yodium, iodofor dan kurang efektif dalam menurunkan flora kulit daripada CHG atau iodofor (Sheen dan Stiles, 1982). Karena ia menembus kulit, dapat beracun jika dioleskan pada beberapa bagian dari tubuh, dan tidak boleh digunakan pada bayi. Meskipun, produk komersil dengan kloroheksilenol dengan konsentrasi di atas 4% tidak boleh digunakan. 1. Keuntungan : 1. Aktivitas bersepektrum luas. 2. Hanya sedikit efeknya terhadap materi organik. 3. Efek residu tahan sampai beberapa jam. 4. Minimal efek oleh bahan organik. 2.Kerugian : 1. Diinaktivasi oleh sabun (surfaktan nonionik), penggunaan untuk persiapan kulit berkurang. 2. Tidak boleh digunakan pada bayi baru lahir, karena dapat menyerap dengan cepat dan potensial meracuni. (Syaifudin, 2005) e. Triklosan • Triklosan adalah subtansi tidak berwarna yang terdapat dalam sabun sebagai antimikrobial. Konsentrasi 0,2-2,0% mempunyai aktivitas antimikrobial sedang terhadap koki gram positif, mikobakteria dan jamur, tapi tidak terhadap baksil gram negatif, khususnya P aeruginosa (Larson 1995). Meskipun perhatian ditujukan pada resistensi terhadap bahan ini bisa berkembang lebih siap dari bahan antiseptik lain, resistensi pada flora kulit tidak ditemukan penelitian klinis sampai saat ini. 1. Keuntungan : 1. Aktivitas berspektrum luas. 2. Persistensi sangat bagus. 3. Sedikit efeknya oleh bahan organik. 2. Kerugian : 1. Tidak ada efeknya terhadap P aeruginosa atau baksil gram negatif lain. 2. Bakteriostatik (hanya mencegah pertumbuhan). (Syaifudin, 2005) EFEKTIFITAS DISINFEKTAN a. Alkohol 1. Efektif 1. Kecepatan membunuh bakteri 10-15 menit (Imbang Dwi, 2009). 2. Sangat efektif dalam mengurangi mikroorganisme di kulit, virus hepatitis dan HIV. 3. Menurut Larson (1995) alkohol merupakan salah satu antiseptik paling aman. Etil atau isopropil alkohol 60-70% efektif dan pengeringan kulit kurang pada konsentrasi lebih tinggi. 2. Tidak efektif 1. Memerlukan emulien (misalnya gliserin dan atau propilen glikol) untuk mencegah pengeringan kulit. 2. Mudah pengeringan kulit. 3. Mudah diinaktivasi oleh bahan-bahan organik. 4. Tidak dapat dipakai sebagai bahan pembersih. b.Savlon (klorheksidin glukonat) 1.Efektif 1. Kecepatan membunuh bakteri 20-30 menit (Imbang Dwi, 2009). 2. Klorheksidin glukonat tetap aktif terhadap mikroorganisme di kulit beberapa jam sesudah pemberian. 3. Aman untuk bayi dan anak. 2. Tidak efektif 1. Efek dikurangi atau dinetrelisasi oleh sabun, air ledeng, dan beberapa krim tangan. 2. Tidak efektif terhadap basil TBC, baik dan efektif melawan jamur. 3. Tidak dapat dipakai pada pH > 8 karena mengalami dekomposisi. e). Betadine (yodium dan iodofor) 1. Efektif 1. Kecepatan membunuh bakteri 10-20 menit (Imbang Dwi, 2009). 2. Sejumlah yodium “bebas” menunjukkan tingkat aktivitas anti mikrobial iodofor (misalnya 10% povidon iodin berisi 1% iodin, menghasilkan konsentrasil “bebas” iodin dari 1 ppm (0,0001%) (Anderson, 1989). 3. Iodofor mempunyai aktivitas spektrum yang luas. 4. Membunuh bakteria vagetatif, virus mikrobakteria, dan jamur. 2. Tidak efektif 1. Absorpsi yodium bebas melalui kulit dan selaput lendir dapat mengakibatkan hiptiroidisma pada bayi baru lahir. Oleh karena itu batasi pemakaiannya (Newman 1989). 2. Reaksi alergi terhadap iodin dan iodofor dapat terjadi, jadi cek riwayat alergi. • Maka perpaduan antiseptik antara alkohol-betadine dengan savlon-betadine lebih efektif alkohol-betadine karena kedua antiseptik salvon dan betadine masih ada keterkaitan dengan alkohol, misalnya : 1. Pada keuntungan salvon: Tersedia produk komersial, yang umum adalah dicampur dengan deterjen dan alkohol. 2. Pada kerugian betadine: Yodium tinktur atau cairan dapat mengiritasi kulit dan harus dibersihkan dari kulit sesudah kering (pakai alkohol). • Sedangkan pada segi kecepatan membunuh bakteri : a. Alkohol-Betadine • Pada tabel 2.1 aktifitas mikrobiologis dan kegunaan potensial pada kolom aktifitas melawan bakteri di sub kolom tindakan kecepatan relatif tergolong cepat (alkohol) dan sedang (betadine). b.Salvon-Betadine • Pada tabel 2.1 aktifitas mikrobiologis dan kegunaan potensial pada kolom aktifitas melawan bakteri di sub kolom tindakan kecepatan relatif tergolong sedang (salvon) dan sedang (betadine). • Dari segi kecepatan membunuh bakteri dapat disimpulkan bahwa antiseptik alkohol-betadine lebih cepat daripada salvon-betadine. Efektivitas disinfektan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya lama paparan, suhu, konsentrasi disinfektan, pH, dan ada tidaknya bahan pengganggu.[2] pH merupakan faktor penting dalam menentukan efektivitas disinfektan, misalnya saja senyawa klorin akan kehilangan aktivitas disinfeksinya pada pH lingkungan lebih dari 10.[2] Contoh senyawa pengganggu yang dapat menurunkan efektivitas disinfektan adalah senyawa organik.[2] Klorin Senyawa klorin yang paling aktif adalah asam hipoklorit.[2] Mekanisme kerjanya adalah menghambat oksidasi glukosa dalam sel mikroorganisme dengan cara menghambat enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat .[2] Kelebihan dari disinfektan ini adalah mudah digunakan, dan jenis mikroorganisme yang dapat dibunuh dengan senyawa ini juga cukup luas, meliputi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.[2]Kelemahan dari disinfektan berbahan dasar klorin adalah dapat menyebabkan korosi pada pH rendah (suasana asam), meskipun sebenarnya pH rendah diperlukan untuk mencapai efektivitas optimum disinfektan ini.[2] Klorin juga cepat terinaktivasi jika terpapar senyawa organik tertentu.[2] Iodin Iodin merupakan disinfektan yang efektif untuk proses desinfeksi air dalam skala kecil.[5] Dua tetes iodine 2% dalam larutan etanol cukup untuk mendesinfeksi 1 liter air jernih.[5] Salah satu senyawa iodine yang sering digunakan sebagai disinfektan adalah iodofor.[2] Sifatnya stabil, memiliki waktu simpan yang cukup panjang, aktif mematikan hampir semua sel bakteri, namun tidak aktif mematikan spora, nonkorosif, dan mudah terdispersi.[2] Kelemahan iodofor diantaranya aktivitasnya tergolong lambat pada pH 7 (netral) dan lebih dan mahal. Iodofor tidak dapat digunakan pada suhu lebih tinggi dari 49 °C.[2] Alkohol Alkohol disinfektan yang banyak dipakai untuk peralatan medis, contohnya termometer oral.[4] Umumnya digunakan etil alkohol dan isopropil alcohol dengan konsentrasi 60-90%, tidak bersifat korosif terhadap logam, cepat menguap, dan dapat merusak bahan yang terbuat dari karet atau plastik.[4 Amonium Kuartener Amonium kuartener merupakan garam ammonium dengan substitusi gugus alkil pada beberapa atau keseluruhan atom H dari ion NH4+nya[2]. Umumnya yang digunakan adalah en:cetyl trimetil ammonium bromide (CTAB) atau lauril dimetil benzyl klorida[2]. Amonium kuartener dapat digunakan untuk mematikan bakteri gram positif, namun kurang efektif terhadap bakteri gram negatif, kecuali bila ditambahkan dengan sekuenstran (pengikat ion logam)[2]. Senyawa ini mudah berpenetrasi, sehingga cocok diaplikasikan pada permukaan berpori, sifatnya stabil, tidak korosif, memiliki umur simpan panjang, mudah terdispersi, dan menghilangkan bau tidak sedap[2]. Kelemahan dari senyawa ini adalah aktivitas disinfeksi lambat, mahal, dan menghasilkan residu[2]. Formaldehida Formaldehida atau dikenal juga sebagai formalin, dengan konsentasi efektif sekitar 8%[4]. Formaldehida merupakan disinfektan yang bersifat karsinogenik pada konsentrasi tinggi namun tidak korosif terhadap metal, dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan pernapasan[4]. Senyawa ini memiliki daya inaktivasi mikroba dengan spektrum luas. Formaldehida juga dapat terinaktivasi oleh senyawa organik[4]. Kalium permanganat Kalium permanganat merupakan zat oksidan kuat namun tidak tepat untuk disinfeksi air[5]. Penggunaan senyawa ini dapat menimbulkan perubahan rasa, warna, dan bau pada air[5]. Meskipun begitu, senyawa ini cukup efektif terhadap bakteri Vibrio cholerae[5]. Fenol Fenol merupakan bahan antibakteri yang cukup kuat dalam konsentrasi 1-2% dalam air, umumnya dikenal dengan lisol dan kreolin[4][6]. Fenol dapat diperoleh melalui distilasi produk minyak bumi tertentu[6]. Fenol bersifat toksik, stabil, tahan lama, berbau tidak sedap, dan dapat menyebabkan iritasi, [6] Mekanisme kerja senyawa ini adalah dengan penghancuran dinding sel dan presipitasi (pengendapan) protein sel dari mikroorganisme sehingga terjadi koagulasi dan kegagalan fungsi pada mikroorganisme tersebut.[6] ...Read More..